Tiga keluarga pasangan suami istri (pasutri) manusia hutan di tengah hutan jati perbatasan Mojokerto dan Jombang tidak hidup gelap-gelapan di malam hari. Mereka telah menikmati kecanggihan teknologi lampu bertenaga surya.
Ketiga pasutri, Saelan dan Lamini asal Nganjuk, Sakri dan Poniyem asal Desa Sumberjo, Wonosalam, Jombang, serta Jaini dan Insiati asal Nganjuk mendapatkan energi ramah lingkungan ini dari komunitas offroad.
Sebelum mendapatkan panel surya itu tiga keluarga manusia hutan memakai lampu minyak tanah untuk penerangan. Hanya saja, listrik tenaga surya itu hanya cukup untuk menyalakan lampu penerangan, tenaganya tak cukup untuk peralatan elektronik lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lampu tenaga surya itu dipasang sekitar awal 2025, bantuan dari komunitas offroad," kata Kepala BKPH Jabung, Tarmidi kepada detikJatim, Rabu (26/11/2025).
Tarmidi menuturkan, pada awal 2025 sebuah komunitas offroad yang berniat terabas hutan BKPH Jabung dengan salah satu anggotanya bernama Nawi kebetulan merupakan warga Desa Lebak Jabung, Jatirejo, Mojokerto. Mereka menyaksikan langsung kondisi Sakri dan manusia hutan lain saat survei jalur.
Saat itu, komunitas offroad ini batal terabas hutan jati BKPH Jabung karena medan yang tak sesuai harapan. Namun, mereka tetap memberikan bantuan lampu dan panel surya untuk rumah Sakri dan 2 keluarga lain karena prihatin dengan kehidupan mereka.
"Yang pasang Pak Nawi. Panel surya sebatas untuk lampu, tidak kuat untuk peralatan elektronik lainnya. Untuk lampu saja suram, tak begitu terang," ungkapnya.
Perum Perhutani, kata Tarmidi, sejatinya melarang manusia tinggal di dalam hutan. Namun, pihaknya tak sampai hati menggusur Sakri dan 2 kepala keluarga lain dari hutan Watuseno. Sebab mereka nekat hidup di dalam hutan untuk mencari nafkah.
"Sebab itu, setiap tahun mereka kami minta membuat surat pernyataan bermeterai bahwa mereka menempati kawasan hutan. Apabila setiap saat tanah yang mereka tempati dipakai pengelolaan hutan oleh Perhutani, mereka bersedia pindah. Sehingga kami tidak melakukan pembiaran. Karena bagaimana pun aturannya melarang tinggal di hutan," jelasnya.
Terlebih lagi keberadaan 3 pasutri penghuni hutan ini juga menguntungkan Perhutani dari sisi keamanan. Menurut Tarmidi, selama ini mereka membantu Perhutani mencegah pencurian kayu jati.
"Sangat-sangat bermanfaat bagi kami mencegah pembalakan liar. Apalagi Pak Sakri yang dituakan di Lingkungan Sumberjo, para pencuri kayu masih ada rasa sungkan dengan beliau," tandasnya.
Permukiman di Hutan Watuseno pada awal 2024 lalu masih sebanyak 11 KK. Kini hanya tersisa 3 KK. Rumah-rumah lainnya telah dibongkar seiring penghuninya pindah ke kampung. Permukiman ini sekitar 15 menit dari Dusun Jabung, Desa Lebak Jabung apabila ditempuh dengan sepeda motor.
Meski cukup lebar, jalannya masih beralaskan bebatuan dan tanah selama bertahun-tahun lamanya hidup dalam dalam hutan jati berjuluk Watuseno di wilayah Perhutani BKPH Jabung, KPH Jombang.
Tiga pasutri ini menempati rumah masing-masing di dalam hutan dan cukup berdekatan. Namun, rumah mereka berada di 2 kabupaten berbeda yang dipisahkan jalan berbatu selebar 2 meter.
Rumah Sakri masuk wilayah administrasi Jombang, tepatnya Desa Sumberjo, Kecamatan Wonosalam. Sedangkan rumah Saelan dan Jaini masuk Desa Lebak Jabung, Jatirejo, Mojokerto.
Tempat tinggal mereka jauh dari kata layak huni. Sebab masih berlantai tanah, berdinding bambu, serta tanpa plafon. Untuk masak, mandi dan minum, mereka mengambil air dari Sumber Petung dan sungai terdekat. Namun, airnya tak begitu jernih.
(dpe/abq)











































