Kasus perundungan yang melibatkan sejumlah remaja SMP di Kota Malang kembali menguatkan kekhawatiran mengenai dampak konsumsi konten kekerasan di era digital. Semua pihak diminta menguatkan pengawasan sebagai upaya pencegahan.
Kasat Reskrim Polresta Malang Kota, Kompol M. Sholeh menyebut bahwa para pelaku mengaku meniru kekerasan yang mereka lihat di video dan media sosial.
Peristiwa pengeroyokan yang viral beberapa hari lalu itu menunjukkan bagaimana anak-anak usia sekolah kini tidak hanya terpapar konten kekerasan, tetapi juga menjadikannya sebagai bahan tontonan, hiburan, bahkan contoh perilaku.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka bangga dengan perbuatannya, sampai merekam dan mempertontonkannya ke publik," ujar Kompol Sholeh kepada wartawan, Selasa (25/11/2025).
Menurut Sholeh, bahaya yang kini tengah dihadapi adalah anak-anak atau remaja kini cenderung menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang lumrah dan dapat dilakukan secara terang-terangan.
Tindakan kekerasan yang mereka lakukan menunjukkan bagaimana konten kekerasan yang beredar bebas di dunia digital mampu memberi pengaruh langsung pada pola pikir dan perilaku remaja.
"Di usia SMP, mestinya mereka dalam pengawasan ketat guru dan orang tua. Tapi dengan akses digital yang sangat bebas, anak-anak meniru apa yang mereka tonton," jelas Sholeh.
Ia menambahkan, tontonan berisi kekerasan bisa menjadi trigger yang mendorong anak untuk mencoba melakukan hal serupa di dunia nyata.
Dalam kasus yang terjadi beberapa waktu lalu, pihaknya menemukan bahwa motif perundungan bermula dari perselisihan sepele di grup WhatsApp tentang berebut pasangan. Namun, emosi remaja yang belum stabil, ditambah pengaruh tontonan agresif, mengubah konflik kecil menjadi aksi pengeroyokan.
Pelaku kemudian mengajak teman-temannya untuk ikut memukul korban yang diketahui tidak memiliki banyak teman. Aksi itu dilakukan di dekat sekolah, dan terekam dalam video yang kemudian viral. Lantaran kejadian itu, kata Sholeh, korban mengalami luka fisik hingga harus menjalani visum.
"Bullying bukan hanya soal memukul. Mengolok-olok pun tidak boleh. Tetapi di era digital sekarang, batasan itu makin kabur," tegas Sholeh.
Ia menilai, lemahnya kontrol orang tua dan lingkungan membuat anak-anak semakin rentan terpengaruh konten negatif.
"Orang tua harus benar-benar memantau gawai anak. Jangan sampai mereka mengakses video yang mengandung unsur kekerasan karena itu bisa menjadi pemicu," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa alasan 'iseng' tidak dapat menjadi pembenaran. Siapa pun yang melakukan kekerasan, termasuk anak di bawah umur, tetap akan menghadapi konsekuensi hukum sesuai aturan yang berlaku.
Polisi mengingatkan bahwa korban perundungan berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari jika tidak ditangani dengan benar.
"Korban bisa mencari kelompok untuk melindungi diri atau bahkan balas dendam. Ini bisa menjadi roda kriminal yang tidak terputus," ujarnya.
Untuk mencegah hal itu, Polresta Malang Kota rutin melakukan patroli psikologis dan pendampingan terhadap korban, termasuk mengunjungi sekolah serta melibatkan tim psikolog.
Polresta Malang Kota juga telah memperkuat program Police Goes to School untuk memberikan edukasi mengenai bahaya perundungan dan dampak konten kekerasan di internet.
"Kasus seperti ini sudah terjadi dua kali dalam seminggu, baik oleh kelompok pelajar perempuan maupun laki-laki. Ini bukti bahwa pengaruh konten kekerasan nyata dan harus segera dicegah," tegas Sholeh.
(auh/hil)











































