Alasan Manusia Hutan Mojokerto-Jombang 10 Tahun Hidup di Pedalaman

Alasan Manusia Hutan Mojokerto-Jombang 10 Tahun Hidup di Pedalaman

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Minggu, 23 Nov 2025 20:45 WIB
Mojokerto -

Tiga keluarga manusia hutan di Jombang sebenarnya punya pilihan tidak tinggal di sana. Saelan dan Lamini asal Nganjuk, Sakri (60) dan Poniyem (50) asal Desa Sumberjo, Wonosalam, Jombang, serta Jaini dan Insiati asal Nganjuk sudah tak lagi muda tapi mereka memilih hidup dan bekerja di tengah hutan jati karena memang tak punya rumah dan tak ingin merepotkan anak-anaknya.

Insiati dan suaminya Jaini sudah bertahun-tahun menetap di Hutan Watuseno. Pasutri 5 anak ini mengaku tak punya tempat tinggal di kampung halaman mereka di Nganjuk. Beruntung anak-anak mereka tidak ikut tinggal di hutan karena sebagian sudah menikah, sebagian lagi sekolah di Nganjuk.

"Di sana (Nganjuk) kami tidak punya apa-apa, orang miskin, tak ada tempat tinggal. Awalnya (tinggal di hutan) mencari rezeki ikut menggarap lahan Perhutani," terang Insiati kepada detikJatim di rumahnya, Jumat (21/11/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara Sakri yang sudah 10 tahun hidup sana memilih tinggal di hutan sejak putranya menikah dan pindah ke Desa Pohjejer, Gondang, Mojokerto.

"Di Wonosalam saya tak punya apa-apa, istri ada rumah warisan tapi ditinggali adiknya," katanya.

ADVERTISEMENT

Meski hidup sangat terbatas di tengah hutan, Sakri dan istrinya enggan menduduki tanah Perhutani untuk rumah. Ia memilih menumpang sementara sampai mampu membangun rumah di desa.

"Kalau dikasih (bantuan rumah) mau, tapi kami tidak berharap," ujarnya.

Permukiman di tengah hutan jati Watuseno itu kini tersamarkan oleh lebatnya hutan jati Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Lebak Jabung, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Jabung.

Permukiman ini bisa ditempuh naik motor dengan waktu kurang lebih 15 menit dari Dusun Jabung, Desa Lebakjabung, Mojokerto. Meski cukup lebar, akses ke lokasi itu masih beralaskan bebatuan dan tanah.

Rumah mereka pun jauh dari kata layak huni. Lantainya tanah, dindingnya bambu, dan tanpa plafon. Untuk masak, mandi, dan minum, mereka mengambil air dari Sumber Petung dan sungai terdekat. Itu pun airnya tak terlalu jernih.

Musim hujan menjadi berkah bagi ketiga keluarga itu. Karena di musim ini mereka bisa menanam palawija di lahan Perhutani dengan sistem tumpang sari. Selama menggarap lahan Perhutani ia juga ikut menanam, merawat, dan menjaga hutan jati.

Sedangkan saat kemarau, Sakri dan Poniyem tidak bisa bercocok tanam karena kesulitan air. Sehingga ia harus bekerja serabutan dan mencari kayu bakar untuk dijual.

"Hasil panen untuk kami sendiri, cuma bayar bagi hasil ke Perhutani Rp 600.000 per hektare per tahun. Mulai berlaku bagi hasil sekitar 6 tahun lalu," terangnya.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads