Nama dua dusun di Kabupaten Sidoarjo ini kerap membuat orang tersenyum saat mendengarnya, yaitu Bokong Duwur dan Bokongisor. Di balik nama yang terdengar unik itu tersimpan kisah masa lalu yang membentuk identitas warganya.
Kedua dusun tersebut tidak hanya memancing rasa penasaran, tetapi juga menyimpan cerita turun-temurun tentang bagaimana sebutan nyeleneh itu muncul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari Radio Republik Indonesia (RRI), kedua dusun tersebut berada di wilayah Desa Klantingsari, Kecamatan Tarik, sisi barat daya Kabupaten Sidoarjo. Bagi orang yang baru mendengarnya, nama tersebut sering menimbulkan tawa.
Maklum, kata bokong berarti pantat dalam bahasa Indonesia, sementara dalam bahasa Jawa duwur berarti tinggi dan ngisor berarti rendah. Meski terkesan lucu, sebenarnya ada cerita panjang yang hidup di tengah masyarakat mengenai asal-usul penamaannya.
Ada banyak versi cerita yang diwariskan secara lisan. Namun, kisah yang paling sering dipercaya warga berkaitan dengan sebuah sungai yang mengalir di antara dua dusun itu, yaitu Sungai Bokong.
Pada masa lalu, penduduk setempat sebagian besar bekerja sebagai petani. Untuk menuju area persawahan, para leluhur harus menyeberangi sungai tersebut. Karena kedalamannya berbeda-beda, mereka kerap mengangkat jarik atau sarung agar tidak basah.
Di bagian sungai yang lebih dalam, kain terpaksa dinaikkan hingga mendekati bokong, sementara di bagian lain cukup diangkat sedikit saja. Cerita inilah yang kemudian dianggap sebagai asal mula sebutan Bokong Duwur untuk wilayah yang airnya lebih dalam, dan Bokongisor untuk area yang lebih dangkal.
Di luar cerita itu, ada pula legenda lain yang tak kalah menarik. Beberapa warga tua mengatakan dulunya sungai tersebut dilewati para bidadari yang menuju sebuah telaga di dekat dusun, sehingga kisah penamaannya pun berkembang dari imajinasi dan kepercayaan masyarakat.
Meski banyak versi yang beredar, hingga kini belum ada catatan tertulis yang dapat dijadikan rujukan resmi mengenai sejarah nama dua dusun tersebut. Sehingga diharapkan ke depan ada upaya pendokumentasian, agar generasi muda tidak hanya mengenal namanya yang unik, tetapi memahami cerita yang melekat di baliknya.
(hil/irb)












































