Sosok Gus Dur Sang Bapak Pluralisme Kini Jadi Pahlawan Nasional

Eka Fitria Lusiana - detikJatim
Senin, 10 Nov 2025 14:45 WIB
Gus Dur semasa hidup/Foto: Istimewa/Getty Images
Surabaya -

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tak hanya dikenal sebagai presiden ke-4 Indonesia. Ia adalah sosok ulama yang mengajarkan arti toleransi dalam keberagaman. Berkat pemikiran dan perjuangannya, ia mendapat julukan sebagai bapak Pluralisme Indonesia.

Perjalanannya sebagai kiai, cendekiawan, hingga pemimpin bangsa meninggalkan jejak tentang menghargai perbedaan. Hingga kini, namanya terus dikenang dan mendapat gelar pahlawan nasional.

Pemberian gelar ini disematkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto kepada istri Gus Dur, Hj Sinta Nuriyah dalam peringatan Hari Pahlawan. Berikut biografi Gus Dur.

Prabowo anugerahkan gelar pahlawan nasional ke 10 tokoh, termasuk Soeharto dan Gus Dur (Eva/detikcom) Foto: Prabowo anugerahkan gelar pahlawan nasional ke 10 tokoh, termasuk Soeharto dan Gus Dur (Eva/detikcom)

Perjalanan Hidup

Mengutip dari beberapa sumber, Gus Dur mempunyai nama lengkap Abdurrahman ad-Dakhil. Ad Dakhil memiliki arti sang penakluk. Namun, karena nama tersebut tidak terlalu banyak dikenal, digantilah menjadi Abdurrahman Wahid.

Ia lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur. Putra dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Hj. Sholichah. Ayahnya adalah anak dari pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH Hasyim Asy'ari.

Sedangkan ibunya adalah putri dari KH Bisri Syansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang Jawa Timur. Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara.

Pada 1949, ayah Gus Dur diangkat menjadi kepala Menteri Agama pertama. Hal inilah yang membuatnya pindah ke Jakarta.

Sejak kecil, ia terlihat telah mempunyai kesadaran mengemban tanggung jawab terhadap NU (Nahdlatul Ulama). Terbukti, pada 1953 sewaktu ayahnya menghadiri pertemuan NU di Sumedang, Jawa Barat, Gus Dur turut serta mengikutinya. Namun, di tengah perjalanan, mobil sang ayah mengalami kecelakaan hingga wafat.

Mengutip dari beberapa sumber, pada tahun 1971, Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah. Keduanya dikaruniai empat anak.

Perjalanan Pendidikan

Semasa kecil, ia sempat berpindah dari Jombang ke Jakarta untuk menempuh pendidikan sekaligus mengikuti ayahnya. Pada 1953, ketika sang ayah wafat, Gus Dur melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gowongan, sekaligus menetap di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Namun, karena ia merasa kurang leluasa dalam aktivitasnya di Ponpes Krapyak, ia meminta pindah ke kota dan menetap di Rumah H. Junaedi, salah seorang pimpinan Muhammadiyah.

Tamat dari SMEP, Gus Dur melanjutkan pendidikan ke Ponpes Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, pimpinan KH Chaudhary. Gus Dur pun dikenal dengan ritual sufi mistik dengan bimbingan kiainya.

Dari situ, ia sering melakukan ziarah ke kuburan para wali yang dianggap keramat di Pulau Jawa. Setelah menghabiskan waktu hampir dua tahun di Ponpes Tegalrejo, Magelang, ia lalu kembali ke Jombang dan menetap di Pesantren Tambak Beras Jombang hingga berusia 20 tahun.

Di Tambak Beras, Gus Dur menjadi ustaz sekaligus diangkat menjadi ketua keamanan di pesantren pamannya, KH Abdul Fatah. Ketika berusia 22 tahun, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus melanjutkan studi di Al-Azhar University, Kairo, Mesir.

Kemudian, ia melanjutkan studi di Universitas Baghdad, Irak. Setelah menempuh pendidikan di Baghdad, Gus Dur berencana melanjutkan pendidikan ke Eropa, tetapi persyaratannya cukup ketat karena harus menguasai Bahasa Jerman, Yunani, dan Latin.

Untuk menghilangkan kekecewaannya, ia melakukan kunjungan ke universitas-universitas lain. Lalu, Gus Dur memutuskan untuk menetap di Belanda selama 6 bulan sekaligus mendirikan perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang ada di sana.

Selama di sana, Gus Dur memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja sebagai cleaning service kapal tanker. Meski begitu, ia juga tetap memperdalam kajian keislaman di McGill University of Canada.

Pada 1971, ia akhirnya kembali ke Indonesia setelah mendapat berita mengenai perkembangan dunia pesantren. Karena semangat belajarnya yang tak pernah surut, pada 1979, ia ditawari menempuh pendidikan di Australia untuk mendapat gelar doctor. Namun, hal itu tidak bisa dipenuhi oleh Gus Dur.



Simak Video "Video: Dua Presiden RI yang Dapat Gelar Pahlawan Nasional"


(auh/hil)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork