Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia mengenang jasa dan pengorbanan pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan. Hari Pahlawan bukan sekadar hari untuk mengenang masa lalu, tetapi momen meneladani nilai keberanian, ketulusan, dan semangat pantang menyerah dalam kehidupan sehari-hari.
Peringatan ini menjadi pengingat perjuangan tidak hanya di medan perang, tetapi dalam berbagai bentuk kontribusi nyata bagi bangsa. Semangat kepahlawanan yang diwariskan generasi terdahulu menginspirasi setiap warga untuk terus bergerak maju, bekerja keras, dan mempertahankan cita-cita kemerdekaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal-usul Hari Pahlawan 10 November
Dilansir dari Pedoman Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan Tahun 2025, tanggal 10 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional, untuk mengenang peristiwa bersejarah yang terjadi di Surabaya pada 1945.
Pada hari itu, meletus pertempuran besar antara pasukan Indonesia dan tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Pertempuran Surabaya menjadi perang pertama antara Indonesia dan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Peristiwa ini menjadi salah satu pertempuran terbesar dan paling berat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Setelah penandatanganan gencatan senjata antara pihak Indonesia dan Inggris pada 29 Oktober 1945, situasi di Surabaya sempat mereda.
Namun, ketegangan kembali meningkat akibat serangkaian bentrokan yang masih terus terjadi antara rakyat dan tentara Inggris. Puncaknya pada 30 Oktober 1945, ketika Brigadir Jenderal AWS Mallaby, komandan pasukan Inggris di Jawa Timur, tewas dalam insiden di sekitar Jembatan Merah.
Kematian Mallaby memicu kemarahan besar Inggris dan membuat penggantinya, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, mengeluarkan ultimatum pada 10 November 1945. Ultimatum tersebut menuntut rakyat Surabaya menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan terhadap Inggris dan administrasi NICA.
Inggris juga mengancam akan menggempur kota Surabaya dari darat, laut, dan udara jika tuntutan itu tidak dipenuhi sebelum pukul 06.00 pagi. Namun rakyat Surabaya menolak mentah-mentah ancaman itu.
Dengan semangat pantang menyerah, mereka memilih bertahan dan melawan demi mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung. Pertempuran pun pecah pada pagi hari 10 November 1945, dan berlangsung sengit selama hampir tiga minggu.
Suara dentuman meriam, ledakan, dan tembakan memenuhi udara Surabaya. Ribuan pejuang dan warga sipil turut berguguran dalam perlawanan heroik tersebut. Diperkirakan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban jiwa, sementara 150.000 orang lainnya mengungsi dari kota.
Dari pihak Inggris, tercatat sekitar 1.600 prajurit tewas, hilang, atau terluka, serta puluhan kendaraan dan peralatan perang hancur. Kota Surabaya pun dijuluki sebagai "neraka" karena begitu dahsyatnya pertempuran yang terjadi.
Besarnya pengorbanan rakyat Surabaya, semangat juang yang menyala, dan keberanian melawan pasukan asing membuat dunia internasional menaruh hormat pada perjuangan bangsa Indonesia.
Surabaya kemudian dikenang sebagai "Kota Pahlawan", sementara tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional. Peringatan ini menjadi bentuk penghargaan atas jasa, keberanian, dan pengorbanan para pahlawan serta rakyat yang telah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan darah dan nyawa.
Beberapa tokoh besar juga tercatat berperan penting dalam pertempuran tersebut, antara lain KH Hasyim Asy'ari, Gubernur Suryo, Bung Tomo, dan dr Moestopo. Mereka menjadi simbol kepemimpinan dan semangat juang yang membakar tekad rakyat untuk tidak tunduk pada penjajahan.
Semangat 10 November kini terus dikenang dan diwariskan sebagai teladan perjuangan yang tak lekang oleh waktu-bahwa kemerdekaan tidak datang dengan mudah, melainkan harus dipertahankan dengan keberanian dan persatuan bangsa.
(irb/hil)












































