Kota Surabaya menjadi salah satu daerah yang udaranya tercemar mikroplastik. Udara Kota Pahlawan mengandung 12 partikel/2jam/90cm.
Adanya mikroplastik pada udara di Surabaya ini berdasarkan penelitian Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) dan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SEIJ). Penelitian kontaminimasi mikroplastik dilakukan pada periode Mei-Juli 2025 di 18 kota/kabupaten di Indonesia.
Penelitian menggunakan pemantauan deposisi pasif mikroplastik udara dengan analisis mikroskopik dan spektroskopi inframerah Fourier Transform (FTIR). Tujuannya untuk memastikan jenis polimernya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada langkah penelitian meliputi penempatan cawan petri kaca pada ketinggian 1-1,5 meter (zona pernapasan manusia) di lokasi representatif di tiap daerah. Kemudian penangkapan partikel melalui deposisi alami selama 2 jam menggunakan kertas Whatman basah steril.
Selanjutnya adalah pemisahan partikel plastik dengan mikroskop stereo, identifikasi bentuk fiber, film dan fragmen, warna, ukuran, dan konfirmasi jenis polimer dengan FTIR.
Kepala Laboratorium Mikroplastik Ecoton Rafika mengatakan, berdasarkan hasil penelitian, udara di Surabaya mengandung 12 partikel/2jam/90cm yang terdiri dari 5 partikel fiber dan 7 partikel fragmen. Surabaya menjadi kota ke-8 kontaminasi, urutan pertama ada di Jakarta Pusat.
"Mikroplastik adalah potongan kecil plastik berukuran kurang dari 5 milimeter. Permukaannya mudah mengikat zat beracun di sekitarnya, seperti logam berat dan bahan kimia berbahaya lainnya. Karena itu, mikroplastik bisa menjadi hingga 106 kali lebih beracun dibandingkan logam berat tunggal, sebab membawa campuran berbagai polutan sekaligus," kata Rafika, Jumat (24/10/2025).
Menurut beberapa studi internasional, proses pembakaran plastik dapat menghasilkan partikel mikroplastik dan aerosol sintetis yang bertahan lama di udara. Lalu terbawa angin hingga ratusan kilometer.
Pasa saat partikel bereaksi dengan uap air di atmosfer, maka dapat turun bersama air hujan. Sehingga membentuk fenomena yang kini dikenal sebagai hujan mikroplastik.
"Sumber utama mikroplastik di udara berasal dari pembakaran terbuka sampah plastik dan sampah rumah tangga, degradasi produk plastik dan tekstil sintetis, serta emisi kendaraan bermotor akibat gesekan ban dan rem" jelasnya.
Rafika merekomendasikan beberapa hal sebagai pertimbangan kebijakan pemerintah, dan mendorong Kementrian Lingkungan Hidup mengambil 5 langkah strategis.
1. Melarang pembakaran sampah terbuka dan memperkuat penegakan hukum lingkungan di tingkat kelurahan.
2. Meningkatkan fasilitas pemilahan sampah dari sumber serta memperluas jaringan zerowaste cities di setiap kecamatan.
3. Mengembangkan sistem pengolahan organik (kompos dan biodigester) untuk mengurangi volume sampah yang berpotensi dibakar.
4. Melakukan pemantauan berkala kandungan mikroplastik di udara dan air hujan Jakarta sebagai dasar kebijakan berbasis sains.
5. Menguatkan kampanye publik dan pendidikan lingkungan untuk mengubah perilaku masyarakat terhadap pembakaran sampah dan penggunaan plastik sekali pakai.
(auh/abq)











































