Hari Santri, Mengenang Resolusi Jihad Menyalakan Semangat Ilmu

Hari Santri, Mengenang Resolusi Jihad Menyalakan Semangat Ilmu

Fadya Majida Az-Zahra - detikJatim
Selasa, 21 Okt 2025 12:15 WIB
Ilustrasi Santri
ILUSTRASI SANTRI. Foto: Getty Images/iStockphoto/wichianduangsri
Surabaya -

Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober bukan sekadar momentum seremonial, melainkan wujud penghormatan terhadap peran besar ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Tanggal ini dipilih untuk mengenang lahirnya Resolusi Jihad yang dicetuskan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945, yang menjadi landasan moral perjuangan rakyat melawan penjajah.

Lebih dari tujuh dekade setelah peristiwa itu, nilai-nilai jihad yang diwariskan para santri terus relevan. Semangat jihad kini menempati makna baru bukan lagi pertempuran bersenjata, melainkan perjuangan menegakkan ilmu, keadilan, dan kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah Resolusi Jihad 1945, Cikal Bakal Penetapan Hari Santri Nasional

Agustus 1945 menjadi tonggak awal lahirnya kemerdekaan. Setelah berabad-abad dijajah, rakyat menyambut proklamasi dengan sukacita. Namun, kemerdekaan itu belum sepenuhnya kokoh. Di berbagai daerah, situasi masih labil, dan kekuatan asing mulai bergerak mencoba merebut kembali kendali atas negeri muda ini.

Di tengah euforia kemerdekaan yang baru seumur jagung, Indonesia pada bulan Oktober 1945, menghadapi ancaman besar. Pasukan Sekutu, yang diboncengi tentara NICA (Belanda), mulai mendarat di berbagai wilayah, termasuk Surabaya.

ADVERTISEMENT

Mereka datang dengan misi menguasai kembali wilayah Hindia Belanda yang telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Dalam situasi genting itu, muncullah api jihad dari kalangan ulama dan santri, sebuah gerakan moral dan spiritual yang mengubah sejarah perjuangan bangsa.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada Agustus 1945, kekosongan kekuasaan terjadi di berbagai daerah. Di satu sisi, rakyat tengah menyambut kemerdekaan dengan sukacita, namun di sisi lain, Belanda memanfaatkan momen tersebut untuk kembali menegakkan kolonialisme di bawah payung tentara Sekutu.

Di Surabaya, keadaan semakin memanas ketika pasukan Inggris yang dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby datang membawa ultimatum agar rakyat Indonesia menyerahkan senjata rampasan dari Jepang.

Pemerintah pusat di Jakarta masih berupaya menjaga stabilitas dan menahan potensi konflik bersenjata. Namun, situasi di Jawa Timur, terutama Surabaya, berbeda. Di kota ini, semangat perlawanan rakyat begitu menyala.

Berita kedatangan tentara Sekutu ditanggapi dengan kekhawatiran besar di kalangan ulama dan santri, karena mereka memahami bahwa Sekutu sejatinya adalah kedok dari kembalinya Belanda.

Dalam suasana tegang itulah, para ulama dari berbagai daerah di Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945. Pertemuan ini digagas Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), bersama para tokoh besar seperti KH Wahab Chasbullah, KH Abbas Shiddiq dan KH Bisri Syansuri.

Mereka menilai ancaman penjajahan adalah bentuk penindasan yang harus dilawan, bukan sekadar urusan politik, melainkan persoalan keimanan. Dalam pertemuan tersebut, KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa yang kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad.

Resolusi Jihad ini berisi seruan kepada seluruh umat Islam di Indonesia untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan. Dalam fatwa itu, disebutkan dengan tegas bahwa: "Berperang menolak dan melawan penjajahan itu fardu 'ain bagi setiap muslim yang berada dalam jarak 94 kilometer dari tempat musuh menyerang".

Fatwa ini menjadi dasar moral bagi seluruh rakyat, khususnya santri dan pejuang di Jawa Timur, untuk melawan. Resolusi ini menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan bukan sekadar urusan politik kenegaraan, melainkan kewajiban agama untuk menjaga kehidupan, kehormatan, dan kemerdekaan bangsa.

Seruan jihad yang disebarkan melalui pesantren-pesantren dan mimbar-mimbar masjid segera menggema ke seluruh pelosok Jawa Timur. Para santri, kiai, dan masyarakat desa berbondong-bondong menuju Surabaya membawa senjata seadanya, bambu runcing, pedang, dan semangat yang membara.

KH Abbas Shiddiq dari Pesantren Buntet Cirebon memimpin langsung ribuan laskar santri yang datang ke Surabaya. Para pemuda yang tergabung laskar Hizbullah dan Sabilillah menjadikan Resolusi Jihad sebagai semangat perlawanan. Mereka meyakini, gugur di medan tempur melawan penjajah adalah syahid di jalan Allah.

Pada 10 November 1945, pertempuran besar pun meletus. Rakyat Surabaya menghadapi kekuatan militer Inggris yang jauh lebih modern dan lengkap. Meski demikian, semangat jihad fi sabilillah membuat mereka pantang mundur.

Serangan bertubi-tubi dari udara dan darat dibalas dengan keberanian rakyat yang tak mengenal takut. Pertempuran Surabaya menjadi salah satu perang kota terbesar dalam sejarah Indonesia, sekaligus simbol kebangkitan nasional yang lahir dari semangat keagamaan.

Penetapan Hari Santri

Resolusi Jihad 1945 tidak hanya meninggalkan jejak sejarah perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi menanamkan nilai moral dan spiritual yang menjadi napas perjuangan para santri. Seruan yang digelorakan KH Hasyim Asy'ari kala itu bukanlah ajakan perang tanpa dasar, melainkan panggilan iman yang berpijak pada nilai Islam dan kecintaan terhadap tanah air.

KH Hasyim Asy'ari menegaskan cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Dalam pandangannya, mempertahankan kemerdekaan sama mulianya dengan menjaga agama dan martabat manusia.

Filosofi jihad yang diajarkan para ulama tidak semata dimaknai sebagai perang fisik, tetapi juga jihad ilmu, moral, dan sosial-yakni perjuangan menegakkan keadilan, menghapus kebodohan, dan membangun kesejahteraan umat.

Dari sinilah semangat jihad dalam konteks keindonesiaan berarti perjuangan tanpa henti untuk mempertahankan nilai kemerdekaan dan menegakkan martabat bangsa. Warisan terbesar dari Resolusi Jihad adalah lahirnya semangat santri yang tidak pernah padam dalam perjalanan bangsa Indonesia. Melalui peristiwa ini, peran ulama dan santri diakui sebagai garda terdepan dalam perjuangan kemerdekaan.

Sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa para ulama dan santri, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional pada 2015.

Penetapan ini menjadi simbol nilai-nilai jihad yang diajarkan KH Hasyim Asy'ari tetap relevan di masa kini, sebagai jihad ilmu dan kebangsaan, perjuangan melawan kebodohan, kemiskinan, dan segala bentuk ketidakadilan. Jika dahulu jihad diwujudkan dalam pertempuran bersenjata, maka kini jihad diwujudkan melalui kerja keras, pendidikan, dan pengabdian bagi bangsa.

Filosofi Resolusi Jihad

Dalam penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jihad memiliki beberapa makna, yaitu usaha dengan segala upaya untuk mencapai kebaikan, usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga.

Jihad juga berarti perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Lebih jauh, KBBI mengenal istilah jihad akbar, yaitu perang terbesar yang dimaknai sebagai perjuangan melawan hawa nafsu, dan jihad fi sabilillah perjuangan di jalan Allah demi kemajuan agama dan tegaknya kebenaran.

Dalam buku Menggugat Makna Jihad (Milhan dan Sukiati, 2019), dijelaskan bahwa jihad menuntut pengorbanan tenaga, pikiran, maupun harta. Ia selalu menyertakan risiko kesulitan, kelelahan, bahkan kehilangan sebagai bagian dari perjuangan menuju kebaikan.

Dalam ilmu fiqh, istilah ijtihad merujuk pada upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum terhadap persoalan yang belum dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur'an dan hadis. Sedangkan dalam ilmu tasawuf, dikenal istilah mujahadah, yakni perjuangan melawan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam terminologi Islam, kata jihad juga dapat diartikan sebagai perjuangan sungguh-sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam mencapai tujuan, khususnya dalam mempertahankan kebenaran, kebaikan, dan keluhuran.

Akan tetapi makna jihad tidak selalu sama. Dalam Al-Qur'an, misalnya, surah Al-Ankabut 29:8 dan QS Luqman 31:15, jihad juga bisa berarti perjuangan batin dalam menjaga hubungan antara anak yang beriman dan orang tua yang kafir, bukan hanya perlawanan fisik.

Dalam konteks Indonesia, semangat jihad yang diwariskan para ulama Nusantara, seperti yang tercermin dalam Resolusi Jihad 1945, menjadi bentuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan, menegakkan keadilan, serta mengabdi untuk kemaslahatan bangsa dan umat manusia.

Jihad sejati bukanlah teror, melainkan dedikasi terhadap ilmu, moralitas, dan kemanusiaan. Nilai kebangsaan yang tertanam dalam jiwa santri juga menjadikan mereka garda terdepan dalam menjaga persatuan.

Pesantren pun bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan ruang tumbuhnya karakter cinta tanah air, tempat nasionalisme dirajut melalui ajaran moral, solidaritas, dan tanggung jawab sosial.

Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(irb/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads