Pakar UM Surabaya: Ambruknya Ponpes Al Khoziny Bisa Berimplikasi Hukum

Pakar UM Surabaya: Ambruknya Ponpes Al Khoziny Bisa Berimplikasi Hukum

Esti Widiyana - detikJatim
Minggu, 12 Okt 2025 15:30 WIB
Anggota Basarnas membacakan doa untuk korban bangunan mushala di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (7/10/2025). Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas), Marsekal Madya TNI Muhammad Syafie, secara resmi menyatakan operasi SAR di lokasi runtuhnya bangunan mushalla ditutup pada Selasa, 7 Oktober 2025 setelah sembilan hari penuh operasi tanpa henti dengan total 171 korban berhasil dievakuasi, terdiri dari 104 korban selamat dan 67 korban meninggal dunia. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/nz
Suasana lokasi ambruknya Musala Ponpes Al Khoziny Usai Selesai di Evakuasi Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Surabaya -

Ambruknya bangunan musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo pada Senin (29/9) kini telah masuk tahap penyidikan setelah menelan puluhan korban jiwa dan ratusan korban luka. Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, menilai insiden ini berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum serius, baik pidana maupun perdata.

Menurut Satria, tanggung jawab hukum dapat dikenakan kepada beberapa pihak, tergantung hasil penyelidikan dan temuan teknis di lapangan.

"Pihak yang paling mungkin dimintai pertanggungjawaban meliputi pimpinan atau pemilik pesantren, kontraktor, serta konsultan perencana dan pengawas," ujar Satria, Minggu (12/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menjelaskan, pimpinan pondok pesantren sebagai penggagas pembangunan memiliki tanggung jawab utama terhadap kelayakan dan izin bangunan. Jika pembangunan dilakukan tanpa izin resmi seperti IMB atau PBG, serta mengabaikan standar keselamatan, maka dapat dianggap lalai secara hukum.

ADVERTISEMENT

Pelaksana konstruksi atau kontraktor juga dapat dimintai pertanggungjawaban jika ditemukan kesalahan teknis, perhitungan struktur yang keliru, atau penggunaan material di bawah standar. Demikian pula konsultan perencana dan pengawas bisa dikenai sanksi apabila lalai dalam perencanaan atau pengawasan mutu pekerjaan.

"Unsur pidana muncul bila kelalaian konstruksi menyebabkan jatuhnya korban jiwa atau luka-luka. Kasus seperti ini termasuk delik umum, artinya polisi dapat langsung melakukan penyelidikan tanpa menunggu laporan," jelasnya.

Beberapa pasal yang dapat diterapkan antara lain Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian, serta Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat atau ringan. Selain itu, UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 46 ayat 3 dan Pasal 47 ayat 2, juga mengatur pelanggaran terhadap persyaratan teknis bangunan.

"Selain pidana, aspek perdata juga dapat diberlakukan melalui gugatan ganti rugi oleh keluarga korban terhadap pihak yang dianggap lalai. Dasar gugatan bisa mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH)," ujarnya.

Satria menambahkan, ganti rugi dapat mencakup kerugian materiil seperti biaya pengobatan, pemakaman, hingga kerugian ekonomi, serta kerugian immateriil berupa penderitaan mental dan psikologis. Penetapan pihak yang bertanggung jawab secara hukum harus melalui penyelidikan menyeluruh oleh kepolisian dengan dukungan tim ahli teknik sipil dan konstruksi.

"Penyelidikan harus memastikan penyebab pasti ambruknya bangunan, keberadaan izin pembangunan, serta bagaimana sistem pengawasan selama proyek berlangsung. Kepatuhan terhadap regulasi pembangunan dan prinsip kehati-hatian sangat penting agar peristiwa serupa tidak terulang. Keselamatan publik harus menjadi prioritas utama. Kegagalan bangunan bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga tanggung jawab moral dan hukum," pungkasnya




(ihc/ihc)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads