Mahar menjadi bagian dari unsur pernikahan. Meski mahar adalah bentuk sedekah yang diberikan calon mempelai pria kepada wanita. Dalam keterangan al-fiqh al Manhaji, hukum pemberian mahar kepada calon istri wajib karena menjadi sebab sempurnanya sebuah pernikahan.
Dalam akad pernikahan mahar diucapkan "dibayar tunai" walaupun dasar hukum menyatakan penyebutan sewaktu akad ialah sunnah, sebagaimana keterangan kitab Fathul Qarib.
Pertanyaannya, bagaimana hukum membayar mahar yang diucapkan saat akad nikah "dibayar tunai" tetapi praktiknya menggunakan cek? Simak penjelasan selengkapnya berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum Membayar Mahar dengan Cek
1. Pengertian Cek
Mengutip dari BRIapi, cek adalah alat pembayaran non-tunai yang berbasis kertas dalam bentuk surat perintah pencairan dana nasabah dengan jumlah tertentu atas nama pemilik rekening atau nama lain yang tertera pada cek. Alat pembayaran ini tidak bisa dipakai langsung seperti uang fisik tetapi harus melalui bank-bank tertentu.
Dari sejumlah sumber yang dihimpun detikJatim, ada 2 jenis cek yang sering digunakan.
1. Cek atas nama: cek yang hanya bisa dicairkan orang atau badan hukum yang namanya dicantumkan di atas cek tersebut.
2. Cek silang: cek yang mempunyai 2 garis sejajar di bagian kiri atas menandakan dana di dalamnya tidak dapat ditunaikan, melainkan harus disetor ke rekening bank.
2. Syarat Penggunaan Cek sebagai Mahar
Sedang viral di media sosial, di mana seorang pria berusia 74 tahun menikahi gadis asa Pacitan berusia 24 tahun dengan mahar berupa cek Rp 3 miliar. Pernikahan ini menjadi sorotan selain karena jarak usia kedua mempelai yang terpaut sangat jauh juga karena jumlah mahar yang fantastis.
Pemberian mahar dalam hukum Islam dibolehkan dengan catatan cek yang digunakan diatasnamakan secara sesuai dengan jumlah yang juga tertulis secara jelas, serta dilafazkan dengan kalimat "tunai" saat akad nikah. Ini terutama karena penerima mahar bisa mencairkan dana itu secara langsung seusai akad.
Apabila mahar yang dipakai adalah cek silang, maka hal ini termasuk ke dalam kategori mahar Tangguh atau mu'ajjal, karena dana itu baru bisa diterima beberapa waktu kemudian setelah cek disetorkan ke pihak bank.
Dengan demikian, lafaz yang diucapkan sewaktu akad diubah menjadi "tangguh" atau ditangguhkan untuk menyesuaikan dengan fakta transaksi itu. Jadi, penyebutan mahar dalam bentuk cek bisa disesuaikan dengan kondisi yang berlaku.
3. Nikah dengan Mahar Berupa Cek Tetap Sah
Secara hukum agama, penggunaan cek sebagai mahar tetap sah. Demikian juga apabila cek yang digunakan ternyata jumlahnya tidak sesuai atau kosong. Menurut pendapat Jumhur ulama, pernikahan itu tetap sah karena mahar bukanlah penentu sah atau tidaknya sebuah pernikahan.
Syekh Wahbah az-Zuhayli dalam al-Fiqhul Islami menyebutkan bahwa mahar bukanlah bagian dari rukun nikah. Bahkan, meski mahar yang disebutkan saat akad nikah itu dianggap tidak pantas pernikahan itu tetap sah.
"Mayoritas ulama menyatakan akad tanpa mahar atau penetapan ketidaan mahar saat akad, atau dengan menyebutkan sesuatu yang tidak pantas dijadikan mahar tidaklah membatalkan nikah. Alasannya mahar bukan merupakan rukun dan syarat, melainkan salah satu ketentuan pernikahan, maka kecacatan yang terjadi dalam mahar tidak berpengaruh pada akad." (Syekh Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IX, hal. 73).
4. Saat Mahar Berupa Cek Berbeda dengan Realita
Meski dalam syariat Islam mahar tidak memiliki batas minimal sedikit maupun banyak, tetapi hendaknya calon suami memberikan mahar sesuai dengan yang disebut dalam akad nikah. Sebab, kesalahan penyebutan mahar dengan aslinya bisa menjadikan tidak sahnya sebuah akad pernikahan.
Apabila kurang dalam menyebut mahar pernikahan, dalam satu contoh: wali mengucapkan, "saya nikahkan fulan dengan putri saya dengan mahar 10 gram emas", lalu si calon suami menjawab, "saya terima akadnya dengan 8 gram emas" baik secara disengaja maupun tidak disengaja, akad nikah jadi tidak sah.
Namun, apabila qabul mahar lebih, semisal dalam satu kasus: Wali mengucap, "saya nikahkan fulan dengan putri saya dengan mahar 10 gram emas," lalu si calon suami menjawab, "saya terima nikahnya dengan 12 gram emas," hal ini menjadikan akad nikah itu tetap sah. Ini didasarkan pada pendapat Syekh Wahbah az-Zuhayli dalam Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu, jilid IX, hal. 44.
Namun, kasusnya akan berbeda apabila mahar yang disepakati semisal 10 gram emas, kemudian dalam ijab qabul baik wali maupun calon suami mengucapkan angka yang sesuai tanpa ada kekeliruan, namun sewaktu diberikan kepada istrinya ternyata hanya seberat 8 gram.
Dalam kasus ini, sang suami harus menambahkan lagi 2 gram untuk memenuhinya menjadi 10 gram. Karena jumlah yang telah disebutkan dalam akad nikah harus sesuai dengan yang diberikan. Hal ini didasarkan pada keterangan dari Imam Syafi'i dalam al-Umm berikut ini.
"Apabila suami menikahi perempuan dengan mahar yang telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami. Jika suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah melakukan hubungan suami istri, apabila mahar yang disebut berupa uang maka suami wajib membayar dengan uang." (Imam asy-Syafi'i, Al-Umm, jilid V, hal. 64).
Mahar Harus Dipenuhi Suami, Tapi...
Dengan demikian, mahar yang disebutkan sewaktu akad harus dipenuhi oleh suami. Apabila telah melangsungkan hubungan suami istri, maka mahar harus dibayar secara penuh.
Namun, apabila belum berhubungan, sedangkan mereka bercerai, maka suami berhak memberikan mahar setengahnya. Hal itu juga berdasarkan keterangan Asy-Syafi'i berikut ini.
"Jika suami telah menyerahkan mahar kepada istrinya, serta telah bergaul suami-istri, maka mahar itu hak istrinya dan si suami tak berhak menariknya sedikit pun. Demikian jika mahar belum diserahkan, maka mahar tetap menjadi hak si istri dan itu adalah kewajiban suami [untuk membayarnya]. Selanjutnya, jika suami belum mencampuri istrinya, dan telah menyerahkan maharnya, maka ia boleh menarik separuh mahar dari istrinya. Jika mahar belum diserahkan sedikitpun, maka si istri yang berhak mendapatkan separuhnya." (Imam asy-Syafi'i, al-Umm, jilid V, halaman 216).
Namun, kewajiban suami memenuhi mahar sebagaimana yang disebutkan dalam akad bisa menjadi gugur apabila istri merelakan maharnya agar tidak dilunasi. Hal ini didasarkan pada penjelasan ayat 237 surat Al-Baqarah:
وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۗ
Artinya: "Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami atau wali) membebaskannya." (QS Al-Baqarah).
(dpe/abq)











































