Sosiolog Unair Soroti Tradisi Santri Ikut Ngecor di Pesantren

Sosiolog Unair Soroti Tradisi Santri Ikut Ngecor di Pesantren

Aprilia Devi - detikJatim
Kamis, 09 Okt 2025 15:15 WIB
Foto udara bangunan mushalla yang ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (30/9/2025). Badan SAR Nasional (Basarnas) melaporkan bahwa 38 santri masih diperkirakan terjebak di bawah reruntuhan mushalla yang ambruk dari total sekitar 140 santri yang menjadi korban, 102 di antaranya telah berhasil dievakuasi dan tiga orang meninggal dunia. ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Reruntuhan Musala Ponpes Al Khoziny (Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
Sidoarjo -

Tragedi ambruknya bangunan musala di Ponpes Al Khoziny pada Senin (29/9) tidak hanya menyisakan duka, tapi juga membuka praktik yang disebut-sebut sudah jadi 'tradisi'. Salah satunya, santri yang dihukum diminta ikut mengecor bangunan pondok.

Terkait hal tersebut, Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Prof Bagong Suyanto menyoroti pentingnya melihat lebih dalam motif di balik pelibatan santri, terutama yang masih di bawah umur dalam kegiatan pengecoran bangunan.

"Pelibatan santri di bawah umur dalam kegiatan ngecor di pondok pesantren harus dilihat secara detail. Apakah ada motif ekonomi di sana, misal sebagai cara pengurus pondok untuk menghemat biaya pembangunan," kata Prof Bagong, Kamis (9/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, jika kegiatan itu dilakukan demi efisiensi biaya pembangunan dan melibatkan anak di bawah umur, maka jelas hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Apalagi jika dilakukan secara terpaksa.

"Jika motifnya ekonomi jelas hal itu dilarang. Selain itu perlu dilihat, berapa lama anak dilibatkan dan apakah mereka dipaksa atau tidak," bebernya.

ADVERTISEMENT

Sebelumnya salah seorang santri ponpes tersebut mengungkap bahwa kegiatan ngecor ini sudah sering dilakukan santri. Santri yang bolos, kata dia, bisa mendapat hukuman ikut dalam pengecoran.

"Kalau sebagai hukuman tentu tidak boleh. Ada banyak cara untuk mendidik anak dan seyogyanya tidak yang sifatnya hukuman fisik," tambah Bagong.

Lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren seharusnya juga bisa menjadi ruang belajar yang aman bagi anak-anak.

"Kalau diklaim sebagai bentuk gotong royong, boleh saja. Tapi apakah dalam praktik hal itu dilakukan dalam suasana yang penuh kegembiraan atau terpaksa? Gotong royong ya harus dilakukan bersama, tidak boleh ada relasi asimetris," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, berdasarkan data Basarnas, dalam insiden ambruknya bangunan ponpes tersebut ada 67 korban meninggal dunia, delapan di antaranya dalam kondisi tak utuh. Sementara 104 orang dinyatakan selamat.

Di balik insiden itu, salah satu santri sempat mengungkapkan terkait hukuman yang diberikan untuk membantu ngecor bangunan di kawasan ponpes.

"Itu banyak tukang sih. (Santri) itu ikut bantuin. Kalau santri enggak wajib itu. Cuma apa kayak hukuman, misal hukuman lah. Kayak (kalau) enggak ikut kegiatan itu nanti disuruh bantuin ngecor gitu," cerita santri tersebut di Sidoarjo, Rabu (1/10/2025).




(auh/hil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads