Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dr. Suharyanto mengungkapkan, total korban terdampak dalam tragedi ambruknya musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo mencapai 167 orang.
Dari jumlah tersebut, 104 santri dinyatakan selamat, 14 santri ditemukan meninggal dunia, sementara 49 lainnya masih belum ditemukan hingga hari kelima proses pencarian dan evakuasi.
"Total keseluruhan korban itu 167 orang. Yang sudah ditemukan 118, terdiri dari 104 santri selamat dan 14 jenazah. Yang belum ditemukan 49 orang," kata Suharyanto dalam konferensi pers di lokasi, Sabtu (4/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari 14 jenazah yang sudah ditemukan, lima di antaranya sudah berhasil diidentifikasi. Sisanya masih dalam proses identifikasi oleh tim DVI Mabes Polri.
"Yang sudah teridentifikasi lima jenazah, sembilan masih proses oleh DVI. Kesulitan karena sebagian besar korban adalah anak-anak yang belum punya KTP atau sidik jari," jelasnya.
Suharyanto juga menyampaikan, satu nama dalam daftar korban hilang, yakni Ibnu Fairus ternyata ditemukan selamat di lokasi lain. Ini menunjukkan bahwa data korban terus diperbarui dan bisa berubah seiring perkembangan di lapangan.
"Ada tambahan satu korban selamat atas nama Ibnu Fairus. Awalnya terdata hilang, tapi ternyata ditemukan hidup di tempat lain. Ini bukti bahwa data sangat dinamis," ungkapnya.
Proses evakuasi dan pembersihan reruntuhan terus dilakukan oleh tim gabungan dari TNI, Polri, Basarnas, Zipur, hingga relawan. Namun, pekerjaan dilakukan dengan penuh kehati-hatian karena masih ada kemungkinan jenazah di bawah puing.
"Hingga hari ini, progres pengangkatan reruntuhan sekitar 40 persen. Kenapa belum selesai? Karena kita tidak bisa sembarangan mengangkat. Di situ ada korban jiwa, kita tetap utamakan kemanusiaan," tegas Suharyanto.
Ia menambahka, alat berat sudah masuk sejak beberapa hari lalu ke titik-titik yang diduga menjadi lokasi korban tertimbun. "Hari ini targetnya bisa nambah 20 persen. Tapi tetap hati-hati, kita prioritaskan keselamatan dan penghormatan terhadap korban," lanjutnya.
Mengenai lambatnya proses identifikasi, Suharyanto menjelaskan bahwa tim DVI menghadapi tantangan karena mayoritas korban masih anak-anak. Oleh karena itu, metode DNA dari orang tua menjadi opsi utama.
"Anak-anak ini belum punya KTP, belum ada data biometrik. Jadi DVI gunakan DNA. Tapi kita percaya tim dari Mabes Polri punya teknik percepatan sendiri," jelasnya.
Ia juga mengimbau media agar tidak menyebarkan informasi keliru terkait waktu identifikasi yang disebut bisa memakan waktu berminggu-minggu. "Jangan sampai muncul keresahan karena berita salah. Tiga minggu itu opsi terakhir. Saat ini, semua metode sedang dioptimalkan supaya lebih cepat," pungkas Suharyanto.
(irb/hil)