Kasus keracunan massal menimpa ratusan siswa SD di Ketapang, Kalimantan Barat, usai menyantap hidangan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menu ikan hiu goreng yang disajikan menjadi sorotan karena dianggap tidak lazim untuk konsumsi anak sekolah. Selain jarang dikonsumsi sehari-hari, ikan hiu juga dikenal berisiko mengandung merkuri yang membahayakan kesehatan, terutama bagi anak-anak.
Kepala Regional MBG Kalbar, Agus Kurniawi, menyayangkan kelalaian tim Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam memilih menu. Menurutnya, hidangan yang seharusnya diberikan adalah makanan bergizi seimbang sekaligus ramah anak. Kasus ini memperlihatkan pentingnya seleksi ketat terhadap bahan pangan, sekaligus menjadi pengingat bahwa konsumsi ikan hiu tidak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga berpotensi merugikan ekosistem laut.
Dirangkum dari berbagai sumber, berikut penjelasan terkait bahaya mengkonsumsi daging ikan hiu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahaya Konsumsi Ikan Hiu
Keberadaan Hiu di lautan memang sangat penting terutama untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Namu, hiu menyimpan ancaman tersembunyi di dalam dagingnya. Para ahli dari bidang sains dan agama telah lama memperingatkan masyarakat untuk menghindari konsumsi daging hiu. Peringatan ini bukan tanpa alasan, sebab berbagai kejadian di dunia nyata telah membuktikan betapa berbahayanya risiko kesehatan yang bisa ditimbulkan. Berikut beberapa sebabnya:
1. Kandungan Merkuri yang Tinggi
Salah satu alasan paling kuat secara ilmiah adalah kadar merkuri (khususnya metil merkuri) yang tinggi pada daging hiu. Merkuri masuk ke laut dari polusi industri, lalu berakumulasi di plankton, naik ke ikan kecil, dan akhirnya terakumulasi di predator puncak seperti hiu, proses yang disebut biomagnifikasi. Dilansir dari detiktravel, penelitian menyebutkan kadar merkuri pada hiu jauh lebih tinggi dibanding ikan konsumsi umum seperti tuna atau kepiting. Metilmerkuri bersifat neurotoksik, paparan kronis dapat merusak sistem saraf pusat, mengganggu perkembangan otak anak, dan mempengaruhi fungsi ginjal dan jantung. WHO bahkan merekomendasikan wanita hamil, ibu menyusui, dan anak-anak membatasi atau menghindari konsumsi ikan dengan kadar merkuri tinggi.
2. Ada Kandungan Arsenik
Tidak hanya merkuri, Dikutip dari laman Universitas Muhammadiyah Surabaya, pakar kesehatan menunjukkan hiu dapat mengandung arsenik, timbal, dan bahan berbahaya lain yang juga berisiko bagi kesehatan manusia. Arsenik bersifat karsinogenik dan dapat merusak organ jika terakumulasi, timbal berhubungan dengan gangguan neurologis dan gejala akut, sedangkan urea (yang dihasilkan hiu melalui kulit untuk osmoregulasi) membuat daging hiu berbau tajam dan tidak sedap sehingga sering diolah dengan bumbu kuat agar aman dimakan, namun aroma saja bukan ukuran aman. Semakin besar dan tua hiu, semakin tinggi akumulasi logam beratnya.
3. Berbahaya Bagi Anak dan Wanita
Kelompok paling rentan terhadap efek toksik dari daging hiu adalah anak-anak, wanita hamil atau sedang menyusui, serta orang dengan masalah neurologis atau ginjal. Pada anak-anak, paparan metil merkuri dapat menurunkan kemampuan kognitif, memori, dan perkembangan bahasa, pada janin, paparan ini dapat berdampak jangka panjang pada perkembangan otak. Oleh karena itu badan kesehatan dan pakar gizi secara konsisten menyarankan pembatasan atau penghindaran terhadap konsumsi ikan predator besar bagi kelompok tersebut.
4. Perspektif Agama
Dilansir dari laman resmi LPPOM MUI, secara hukum Islam, mayoritas ulama dan keputusan MUI menggolongkan ikan laut sebagai halal. Namun, lembaga-lembaga keagamaan menegaskan jika suatu makanan menimbulkan mudharat (bahaya) bagi kesehatan, maka hukumnya bisa berubah menjadi haram atau tidak dianjurkan. Daging hiu secara teknis termasuk ikan laut yang halal, tetapi jika terdapat bukti bahwa konsumsi hiu berbahaya (seperti kadar merkuri sangat tinggi atau mengakibatkan keracunan), maka para ulama dan MUI menekankan kehati-hatian hingga larangan dalam kondisi tertentu. Dengan kata lain, status halal tidak otomatis membuat daging hiu aman dikonsumsi.
Sajian berbahan hiu seperti sup sirip hiu, punya nilai sosial atau kuliner tertentu. Namun ilmu pengetahuan dan pengalaman lapangan menegaskan bahwa risiko kesehatan dan dampak lingkungan membuat konsumsi daging hiu problematik. Memilih untuk menolak atau membatasi konsumsi hiu bukan sekadar soal selera, tetapi pilihan yang berlandaskan keselamatan publik dan kelestarian laut. Bagi pembuat kebijakan, kasus-kasus yang muncul harus menjadi momentum untuk menetapkan standar keamanan pangan yang lebih ketat, terutama untuk program yang menyasar anak-anak.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)