Siaran Diam-diam Proklamasi 17 Agustus dari Radio Surabaya

80 Tahun Indonesia Merdeka

Siaran Diam-diam Proklamasi 17 Agustus dari Radio Surabaya

Katherine Yovita - detikJatim
Kamis, 14 Agu 2025 11:05 WIB
Tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional. Di tanggal yang sama Radio Republik Indonesia (RRI) didirikan di tahun 1945.
Melacak Jejak Sejarah Penyiaran Radio di Indonesia. Foto: Antara Foto
Surabaya -

Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta-merta menggema ke seluruh penjuru negeri. Pengumuman resmi yang dibacakan Soekarno-Hatta di Jakarta pagi itu, tak langsung bisa disiarkan secara luas karena ketatnya pengawasan Jepang terhadap media, terutama radio.

Namun, semangat para pemuda dan masyarakat Indonesia tak pernah padam. Di tengah tekanan dan ancaman pemerintah Jepang, sejumlah tokoh radio di Surabaya bergerak diam-diam untuk memastikan kabar Proklamasi sampai ke telinga rakyat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lewat kecerdikan teknis, keberanian, dan jaringan yang sudah terbentuk, siaran rahasia dari Radio Surabaya akhirnya berhasil mengudarakan pesan kemerdekaan, membakar semangat rakyat untuk bangkit mempertahankan tanah air.

Yuk, menelusuri kisah heroik di balik siaran diam-diam yang menjadi salah satu penanda penting dalam sejarah penyiaran kemerdekaan Indonesia, yang diulas berdasarkan laman resmi Begandring berikut ini.

ADVERTISEMENT

Proses Penyebaran Kabar Proklamasi 17 Agustus

Disadur dari laman Begandring, siaran radio di Surabaya bermula dari keberadaan NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) yang resmi beroperasi sejak 1 April 1934.

Ketika Jepang mengambil alih Indonesia pada tahun 1942, gedung NIROM di Embong Malang dirusak pasukan Belanda, namun pemancarnya tetap utuh, sehingga digunakan Jepang untuk siaran propaganda.

Namun demikian, kondisi Studio NIROM yang tidak memadai, mengharuskan Barisan Propaganda Jepang harus mencari tempat lain. Pilihan pun jatuh pada Gedung Kunstkring yang terletak di Jalan Simpang, depan rumah sakit umum atau CBZ.

Pada April 1942, Jepang mulai mengoperasikan siaran radio dari Studio Simpang dengan nama Surabaya Hoso Kyoku, dengan pemancar utama di bekas gedung NIROM di Embong Malang. Siaran dari Simpang hanya berfungsi sebagai studio, sementara pemancar di Embong Malang menyebarkan siaran ke wilayah yang luas.

Di tengah situasi penjajahan yang penuh kewaspadaan, para pemuda dari jaringan bawah tanah Surabaya menjalin kerja sama diam-diam dengan pemuda radio. Mereka kerap memanfaatkan kesempatan untuk "meminjam telinga" alias mencuri dengar siaran luar negeri dari ruang relay di belakang studio Simpang.

Hingga tibalah pada 17 Agustus 1945, ketika naskah proklamasi resmi dikumandangkan. Meski berita tentang proklamasi kemerdekaan RI telah diterima pada pukul 12.00 WIB, penyiaran resminya tidak bisa dilakukan secara langsung karena pengawasan ketat dari Kempeitai.

Namun, pada sore harinya, berita itu berhasil diselipkan ke dalam program kebudayaan yang dibacakan dalam bahasa Madura oleh R P Djakfar Brotoatmodjo, sebuah siaran diam-diam yang menjadi cara cerdas para pemuda radio untuk mengabarkan kemerdekaan.

Keesokan harinya, Teks Proklamasi kembali disiarkan dalam program Pancaran Sastra oleh R Soekardjo Wiryopranoto. Setelah dilarang mengudara oleh Kempetai pada 19 Agustus 1945, Studio Simpang dan pemancar Embong Malang mulai diawasi ketat.

Kekhawatiran akan pengambilalihan oleh Sekutu terbukti pada tanggal 6 September 1945, ketika terdengar siaran asing dari radio, tepatnya siaran Van Der Pals dan Abdulkadir Wijoyoatmojo.

Oleh karena itu, dalam rangka mencegah jatuhnya kendali ke tangan pihak luar, para pegawai Surabaya Hoso Kyoku segera menyelamatkan komponen penting pemancar seperti kristal dan tabung, lalu menyembunyikannya di Kampung Malang, sehingga pemancar tetap berada di bawah kendali pemuda radio.

Ketegangan terus meningkat, hingga akhirnya pada 27 September 1945, para pemuda Surabaya memutuskan untuk mengambil alih sepenuhnya Surabaya Hoso Kyoku dari tangan Jepang.

Dalam sebuah aksi dramatis, mereka "memaksa" kepala Radio Surabaya Marimoto Hoso Kyokucho untuk menandatangani serah terima. Hingga di hari yang sama, pukul 17.00 WIB, Radio Surabaya resmi mengudara dengan nama baru, Radio Republik Indonesia Surabaya, dengan seruan "Sekali merdeka, tetap merdeka".

Upaya para pemuda RRI Surabaya tidak berhenti di situ. Dalam menghadapi ancaman dari pasukan Sekutu dan Inggris yang mulai masuk ke Surabaya pada akhir Oktober 1945, mereka menyebarkan perangkat pemancar ke berbagai lokasi di luar kota, seperti Petemon, Wonokitri, Sepanjang, dan Mojokerto.

Langkah ini menjadi strategi pertahanan radio agar suara perjuangan tetap bisa terdengar, meskipun studio utama di Simpang sempat direbut dan dibakar pejuang untuk mencegah jatuh ke tangan musuh.

Dari Embong Malang, siaran tetap berjalan, termasuk ketika Gubernur Suryo membacakan pidato "Komando Keramat" yang terus diputar sepanjang malam tanggal 9 November 1945. Namun, serangan masif Inggris pada 10 November, akhirnya memaksa pemancar di Embong Malang dievakuasi.

Siaran RRI Surabaya pun dipindahkan dan dilanjutkan di Mojokerto. Pada 17 Agustus 1946, para angkasawan RRI kembali bersatu di bawah nama baru "Radio Republik Indonesia Daerah Surabaya" untuk meneruskan perjuangan melalui udara dengan semangat yang sama, "Sekali di udara, tetap di udara".




(hil/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads