Fenomena pengibaran bendera One Piece di bulan kemerdekaan menjadi sorotan. Akademisi dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Supangat mengatakan bahwa nasionalisme tak bisa begitu saja digantikan oleh tren viral.
"Fenomena ini jelas lebih dari sekadar tren atau budaya pop. Ini mencerminkan pergeseran cara masyarakat, khususnya generasi muda dalam memaknai simbol perjuangan. Sayangnya, di balik kreativitas itu, ada yang terasa getir, yaitu nasionalisme perlahan terdorong ke pinggir oleh narasi fiksi, algoritma media sosial, dan kegandrungan akan viralitas," katanya, Jumat (8/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat Simbol Negara 'Dibajak' Demi Konten Viral
Supangat mengakui anak muda memang butuh mengekspresikan diri, dan Indonesia sendiri tidak anti pada budaya populer, apalagi karya fiksi seperti One Piece yang menyuarakan perlawanan.
Namun, ia menekankan ada garis batas yang tidak boleh dilanggar. Menurutnya, Merah Putih bukan simbol yang bisa disandingkan sembarangan, bukan properti visual yang boleh dikerdilkan di tengah euforia digital.
"Ketika bendera fiksi dikibarkan sejajar dengan lambang negara, bahkan dijadikan alat sindiran terhadap kondisi sosial, ini bukan lagi sekadar ekspresi. Ini adalah bentuk pergeseran makna yang bisa berujung pada pengaburan nilai. Kritik sosial boleh, sindiran boleh, tapi jangan sampai nyawa simbol negara dimatikan di tengah panggung konten trending," ujarnya.
Algoritma Digital Mendikte Makna Nasionalisme
Supangat menyebut tren ini tak bisa dilepaskan dari peran algoritma yang menjadi "tangan tak terlihat" dalam membentuk opini publik. Di media sosial, yang viral bukanlah hal bernilai, melainkan yang memancing emosi dan perhatian. Bendera anime bisa menyebar lebih masif dari Merah Putih karena masuk dalam pola konsumsi digital yang cepat, lucu, dan mudah dibagikan.
Ia melanjutkan, sistem rekomendasi yang diterapkan platform saat ini cenderung menerapkan pendekatan content-based filtering, mengulang dan memperkuat preferensi pengguna tanpa memberi ruang pada konten yang edukatif atau bernilai kebangsaan. Akibatnya, konten ringan mendominasi, sementara nilai-nilai luhur seperti nasionalisme tenggelam dalam diam.
Menurutnya, ketika hanya satu pihak mengetahui cara kerja sistem digital dan pengguna tidak, maka ruang publik online akan dipenuhi konten yang dibuat sesuai selera, bukan benar-benar penting untuk dipahami. Sehingga masyarakat hanya mendengar hal-hal yang ingin mereka dengar, bukan yang seharusnya mereka tahu.
"Inilah yang saya sebut sebagai nasionalisme digital yang disorientatif. Di ruang virtual yang dibentuk oleh AI dan tren, identitas bangsa kita bisa kehilangan jangkar jika masyarakat tak cukup literasi dan sadar akan pengaruh teknologi. Tanpa edukasi, masyarakat mudah tergiring arus, tanpa menyaring makna," jelasnya.
"Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketimpangan informasi yang diciptakan oleh desain algoritmik itu sendiri. Tanpa pengawasan dan akuntabilitas, platform digital bisa menjadi ladang subur bagi konten yang menjauhkan generasi muda dari akar kebangsaannya," tambahnya.
Merah Putih Harus Hadir di Dunia Nyata dan Virtual
Supangat pun menegaskan bahwa saat ini, pertanyaannya bukan sekadar "bolehkah mengibarkan bendera anime?", melainkan "mengapa bendera negara kita kalah pamor di jagat digital?". Ia melihat ini sebagai sinyal bahwa masyarakat butuh cara baru menanamkan nasionalisme di era serba digital.
Baginya, Merah Putih harus hidup, tidak hanya di tiang bendera, tetapi juga di platform digital. Pemerintah, institusi pendidikan, dan kreator konten perlu bersinergi menciptakan kampanye digital yang menghidupkan simbol kebangsaan, misalnya melalui augmented reality, filter media sosial, komik daring, atau game interaktif.
Ia menambahkan, "Tak hanya itu, kita juga memerlukan dashboard digital nasional yang bisa memantau dan menganalisis tren konten berbasis kebangsaan. Inilah pemanfaatan teknologi yang bukan hanya canggih, tapi juga strategis secara ideologis."
"Tak hanya itu, kita juga memerlukan dashboard digital nasional yang bisa memantau dan menganalisis tren konten berbasis kebangsaan. Dashboard ini berfungsi untuk mendeteksi konten yang berpotensi melemahkan identitas nasional, sekaligus menjadi alat bantu perumusan kebijakan edukatif berbasis data. Inilah pemanfaatan teknologi yang bukan hanya canggih, tapi juga strategis secara ideologis," urainya.
Nasionalisme Harus Adaptif, Bukan Kompromistis
Menurut Supangat, nasionalisme bisa lentur dan kreatif, tetapi tidak boleh kehilangan esensinya. Mengagumi karakter fiksi tidak salah, tapi jangan sampai melupakan bahwa kemerdekaan Indonesia diperjuangkan manusia nyata, bukan tokoh fiktif.
Menurutnya, nasionalisme tidak harus kaku dan formal, tetapi bisa lentur, kreatif, dan sesuai zaman, tapi tidak boleh kehilangan esensi. Mengagumi karakter seperti One Piece tidak salah, tetapi jangan sampai melupakan bahwa kemerdekaan bukan diperjuangkan tokoh fiksi, melainkan manusia nyata dengan darah dan air mata.
Ia mengajak masyarakat membangun ulang ruang digital agar tidak hanya ramai, tapi juga bermartabat. Nasionalisme digital dibangun dengan literasi, regulasi, dan tanggung jawab algoritmik (arena di tengah derasnya tren, masyarakat tetap membutuhkan satu jangkar yang tak tergantikan, Merah Putih.
"Literasi digital saja tidak cukup. Kita perlu arsitektur sistem yang berpihak pada nilai bangsa. Platform digital seharusnya didorong untuk menyematkan konten edukatif kebangsaan ke dalam alur algoritma utama, bukan sekadar pilihan alternatif di sudut-sudut minoritas," ungkap Supangat.
"Jika tak diantisipasi, teknologi yang seharusnya mempercepat pembangunan justru bisa mereduksi semangat perjuangan menjadi sekadar konten trending. Inilah tantangan kita, mengembangkan sistem digital yang tidak hanya efisien, tapi juga berkarakter Indonesia," pungkasnya.
(irb/hil)