Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan kajian mendalam di lokasi tanah longsor di Desa Depok, Kecamatan Bendungan, Trenggalek. Hasilnya, lokasi bencana itu di cukup rentan terjadi tanah longsor susulan.
Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Trenggalek Stefanus Triadi Atmono mengatakan dalam penelitian itu disebutkan bahwa secara morfologi lokasi bencana di Dusun Banaran dan Dusun Kebonagung, Desa Depok berada di satuan geomorfologi yang didominasi perbukitan vulkanik terdenudasi.
Perbukitan vulkanik terdenudasi adalah perbukitan kars dan lembah fluvial sempit dengan pola drainase sub-dendritik hingga radial. Kemiringan lereng di lokasi itu umumnya di atas 35 derajat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian dari proses geomorfik kompleks serta pengikisan lapisan tanah secara intensif yang menjadikan kawasan ini sangat rentan terhadap gerakan tanah. Terlebih pada lereng curam dan lapukan batuan vulkanik dan tanah yang bersifat lempung," kata Triadi, Jumat (1/8/2025).
Sedangkan berdasarkan observasi geologi, batuan penyusun di daerah ini terdiri dari breksi vulkanik polimix dengan ukuran 5-20 cm dan bongkahan berukuran 0.5-3 meter.
Bongkahan batu itu bersisipan dengan batu lanau dan tertutupi oleh tanah pelapukan yang relatif tebal bertekstur sangat halus atau lempung dengan ketebalan sekitar 50 meter.
Campuran lapukan bertekstur lempung dan litologi breksi polimix ditambah topografi terjal serta curah hujan tinggi mengakibatkan stabilitas lereng yang rapuh sehingga rentan terhadap tanah longsor dan pergerakan tanah.
"Jadi, hasil kajian ini mengungkap bahwa secara alamiah, struktur tanah dan batuan di sana memang tidak stabil. Ada potensi besar terjadinya longsor susulan, terutama jika musim hujan tiba atau jika lereng kembali terganggu aktivitas manusia," ujarnya.
Menurut laporan resmi Badan Geologi, tanah longsor di Dusun Kebonagung pada 19 Mei 2025 yang disusul kejadian serupa di Dusun Banaran pada 29 Juni 2025 diawali curah hujan dengan intensitas tinggi dan durasi panjang.
Curah hujan itu mempercepat penjenuhan tanah hingga memicu longsoran yang berubah menjadi aliran bahan rombakan atau debris flow. Kerapuhan tanah itu terbukti dari 2 kejadian tanah longsor di Dusun Kebonagung RT 16, RW 06. Longsor itu menyebabkan 6 orang meninggal dunia, merusak 10 bangunan, dan mengancam 9 bangunan lainnya.
Sementara di Dusun Banaran, material longsoran dengan lebar mahkota longsor mencapai 43 meter melanda area dengan kemiringan curam, merusak bangunan dan mengancam permukiman yang terletak di bawahnya.
Triadi menjelaskan hasil kajian dari Badan Geologi tersebut menjadi Salah satu acuan pemerintah daerah dalam menentukan langkah penanganan pascabencana, termasuk proses relokasi warga yang terdampak.
Dari hasil pendataan, jumlah KK yang berada di titik utama longsor berjumlah 7 kepala keluarga. Sementara itu puluhan kepala keluarga lain berada pada zona rawan.
"Untuk saat ini kami masih fokus untuk penanganan untuk relokasi korban bencana tanah gerak di Desa Ngrandu, Kecamatan Suruh. Bencana di sana lebih dahulu dan harus mendapatkan penanganan segera. Untuk di Depok kami lakukan bertahap," imbuhnya.
Saat ini tujuh KK korban longsor Desa Depok telah mendapatkan tempat tinggal sementara untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Mereka memilih tinggal tidak jauh dari lokasi bencana.
"Mereka sulit kalau dijadikan satu di tempat sementara, karena lokasinya jauh dari tempat kerja atau ladang mereka," katanya.
Triadi menambahkan pemerintah akan berusaha memberikan solusi permanen dengan merelokasi ke tempat yang lebih layak. Namun proses itu harus menunggu ketersediaan anggaran serta lahan yang representatif.
(dpe/hil)