Terakhir, Amien mengingatkan potensi tsunami tidak bisa dianggap remeh. Ia mencontohkan dalam gambar mengenai kejadian tsunami di Aceh yang bisa menjalar hingga Sri Lanka, bahkan sampai ke Afrika yang berjarak sekitar 1.500 km. Dan, dampaknya pun bisa sangat luas.
"Artinya, tsunami yang terjadi di Kamchatka Rusia bisa sampai ke Indonesia. Jadi, tsunami harus dikenal, agar selamat dan bisa menyelamatkan," pungkasnya.
Tsunami rawan terjadi di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari posisi geografis Indonesia yang berada di jalur cincin api dan dikelilingi oleh zona tumbukan tiga lempeng besar dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS Amien Widodo menyebutkan kondisi ini menempatkan Indonesia dalam risiko gempa dan tsunami.
"Tsunami merupakan peristiwa alam sebagai akibat posisi tektonik Indonesia yang terletak di kawasan tektonik aktif karena ditekan tiga lempeng bumi, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara, dan lempeng Pasifik di bagian timur," ujar Amien, Kamis (31/7/2025).
Amien menjelaskan, ketiga lempeng tersebut terus bergerak dan saling bertumbukan. Lempeng Indo-Australia menghujam ke bawah lempeng Eurasia, tempat di mana Indonesia berada. Pergerakan lempeng dengan kecepatan sekitar 7 cm per tahun ini memicu gempa-gempa besar yang bisa berulang secara periodik dengan magnitude yang hampir sama.
Salah satu zona tumbukan besar yang menjadi perhatian adalah batas antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dan Lempeng Benua Eurasia yang berada sekitar 300 km dari pantai selatan Jawa. Tumbukan ini membentuk palung Jawa yang membentang sepanjang 5.600 km dari Kepulauan Andaman-Nicobar hingga Sumba.
"Tumbukan lempeng ini juga menyebabkan terbentuknya palung samudera, lipatan, punggungan, dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api, dan sebaran sumber gempa. Gunung api yang berada di Indonesia sendiri berjumlah 129 dan 13% dari gunung api aktif dunia berada di negara kita," beber Amien.
Hal itu tentu memicu terjadinya gempa yang bisa memberikan dampak besar. Namun demikian, Amien menekankan dampak korban jiwa akibat gempa atau tsunami bukanlah semata karena peristiwa alamnya. Ada faktor manusia yang tidak kalah penting.
"Pada hakikatnya gempa tidak pernah membunuh, tapi ketidaktahuan, ketidakmautahuan, dan ketidakingintahuan bisa menyebabkan kita terbunuh," tegasnya.
Ia menyebut ketidaktahuan membuat masyarakat tidak tanggap saat gempa terjadi, hingga terlambat merespons dan berujung pada kepanikan. Ketidakingintahuan membuat masyarakat mudah terpengaruh isu-isu tak berdasar.
Sementara itu, ketidakmautahuan bisa membuat masyarakat abai dengan mitigasi. Hal itu bisa jadi ada kaitannya pula dengan tekanan sosial ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat.
"Gempa bisa memicu longsor, likuifaksi, dan gelombang pasang tsunami yang bisa membunuh," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Amien, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan tsunami wajib dibekali literasi kebencanaan. Pemahaman ini sangat penting agar masyarakat tahu bagaimana harus bertindak ketika bencana datang, dan pada akhirnya bisa menyelamatkan diri maupun orang lain.
"Harapannya mereka tahu apa yang mesti mereka lakukan agar bisa selamat bila tsunami sewaktu-waktu terjadi. Lebih jauh bila kesadaran dan pengetahuan ini terbentuk sejak awal, bukan tak mungkin mereka akan selamat dan bisa menyelamatkan banyak orang," tambahnya.
Ia juga menyoroti peran penting komunikasi dalam menyampaikan informasi kebencanaan secara efektif. Literasi kebencanaan harus dikemas dalam bentuk yang mudah dipahami, merata sampai ke pelosok, dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat di daerah rawan.
(irb/hil)