Akademisi Sebut Larangan Mutlak Sound Horeg Bakal Perkeruh Situasi Sosial

Akademisi Sebut Larangan Mutlak Sound Horeg Bakal Perkeruh Situasi Sosial

Esti Widiyana - detikJatim
Selasa, 29 Jul 2025 22:20 WIB
Warga menyaksikan gelaran Urek Urek Carnival yang diiringi perangkat audio berkapasitas besar di Desa Urek-urek Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/7/2025). Karnaval dengan iringan-iringan audio kapasitas besar tersebut diselenggarakan tiap tahun saat momentum selamatan desa atau setelahnya dalam rangka memeriahkan bersih desa yang diperingati pada bulan Suro pada penanggalan Jawa. ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nym.
Ilustrasi sound horeg. (Foto: ANTARA FOTO /Irfan Sumanjaya)
Surabaya -

MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg. Polda Jatim juga menyampaikan imbauan larangan sound horeg disusul sejumlah Pemkab dan Pemprov Jatim yang sedang menggodok aturan soal sound horeg. Akademisi menyatakan larangan mutlak terhadap sound horeg bukan solusi.

Hal itu seperti disampaikan oleh Dosen Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya M Febriyanto Firman Wijaya. Dia menilai bahwa fenomena sound horeg tidak bisa semata-mata dilihat sebagai hiburan atau gangguan.

"Sound horeg itu bukan sekadar hiburan. Ia adalah ekspresi budaya, identitas komunal, dan bagian dari ekonomi kreatif warga. Melarang secara mutlak justru bisa memicu resistensi dan memperkeruh situasi sosial," ujarnya dilihat detikJatim di situs web resmi UM Surabaya, Selasa (29/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, fenomena ini mencerminkan tarik-menarik antara 2 hak mendasar dalam masyarakat demokratis, yakni hak atas kebebasan berekspresi dan hak publik atas ketenangan. Lalu negara hukum dan masyarakat majemuk, kedua hak itu tidak bisa dipertentangkan secara biner.

"Kita tidak bisa memilih salah satu dan mengabaikan yang lain. Prinsip keadilan sosial justru menuntut negara untuk menyeimbangkan keduanya," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

Riyan, sapaan akrab sang dosen mengatakan bahwa negara seharusnya tidak berpihak pada salah satu kelompok tetapi menjadi penengah yang mengatur secara adil dan proporsional. Dia ingatkan tentang konstitusi menjamin hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

"Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan yang sehat. Maka pembatasan terhadap aktivitas seperti sound horeg bisa dibenarkan, asal tujuannya legitimate, tidak diskriminatif, dan tetap memberi ruang bagi ekspresi budaya," katanya.

Ia juga mengkritisi pendekatan larangan mutlak yang dinilai tidak menyentuh akar persoalan. Baginya, fatwa hanya punya kekuatan moral, tidak serta-merta jadi solusi menyeluruh jika tidak dibarengi edukasi dan dialog. Tanpa pendekatan menyeluruh, pelarangan justru akan melahirkan perlawanan diam-diam.

Dia pun mengusulkan alternatif solusi berbasis regulasi partisipatif dan pengelolaan dampak. Di antaranya, pengaturan batas desibel suara, jam operasional, hingga zonasi tertentu untuk penggunaan sound system.

"Pemerintah bisa mendorong pelaku sound system untuk menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan sesuai standar kebisingan. Ini soal inovasi, bukan sekadar soal pelarangan," katanya.

Selain itu, Riyan mendorong agar pemerintah melibatkan berbagai pihak dalam perumusan regulasi. Menurutnya, pendekatan top-down tanpa partisipasi publik akan sulit diterima dan dijalankan.

"Kalau dirumuskan bersama oleh pemerintah, akademisi, tokoh agama, pelaku budaya, dan masyarakat terdampak, regulasinya akan lebih adil dan aplikatif," kata Riyan.

Terakhir dia tegaskan juga bahwa solusi untuk polemik sound horeg ini harus tetap mengedepankan keadilan sosial, bukan hanya pendekatan secara represif.

"Kebebasan berekspresi itu penting, tapi tidak boleh menindas hak orang lain untuk hidup tenang. Sebaliknya, ketertiban umum juga tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan kreativitas dan budaya rakyat," pungkasnya.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads