Ramai Tren S Line, Dosen Surabaya Ingatkan Bahaya Visualisasi Aib

Ramai Tren S Line, Dosen Surabaya Ingatkan Bahaya Visualisasi Aib

Esti Widiyana - detikJatim
Senin, 21 Jul 2025 16:15 WIB
Drama Korea S Line
Drama Korea S Line (Foto: dok. YouTube Wavve)
Surabaya -

Di media sosial muncul tren 'S Line' atau Sex Line fenomena fiksi dari drama Korea (drakor). Di mana tak sedikit warganet memajang fotonya dengan garis merah di atas kepala.

Pada serial drama S Line, munculnya visualisasi garis merah di atas kepala seseorang menandakan simbol bahwa orang tersebut pernah melakukan hubungan intim. Ternyata hal itu justru menjadi tren dan banyak orang menggambarkan garis di atas kepalanya sendiri, bahkan ada yang lebih dari satu garis.

Menurut Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya M Febriyanto Firman Wijaya, fenomena ini bukan sekadar hiburan kosong. Ia menyoroti bahwa tren tersebut bisa mengikis rasa malu yang seharusnya menjadi mahkota kehormatan individu dalam Islam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Konsep garis merah ini, meskipun hanya fiktif, seolah memberi pembenaran bahwa aib seseorang bisa diumbar ke publik. Ini sangat berbahaya karena menormalisasi pelanggaran privasi dan membuka ruang bagi penghakiman sosial," kata Riyan, Senin (21/7/2025).

Ia menilai, media sosial yang semula untuk menyebar kebaikan kini sering disalahgunakan memamerkan hal bersifat pribadi, bahkan bisa merusak martabat seseorang. Di dalam ajaran Islam, menjaga aib baik diri sendiri maupun orang lain merupakan prinsip utama membangun masyarakat yang bermartabat.

ADVERTISEMENT

Riyan mengutip surah Al-Hujurat Ayat 12, Allah SWT melarang umatnya untuk tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) dan ghibah (menggunjing), yang disamakan dengan tindakan memakan daging saudara yang sudah mati. Bahkan Nabi Muhammad SAW pun memperingatkan tentang bahaya orang-orang yang dengan sengaja membuka dosa yang telah ditutupi Allah.

"Kalau di dunia nyata ada tanda seperti itu di atas kepala, bayangkan betapa mudahnya kita saling menghakimi tanpa tahu konteks, tanpa memahami perjuangan seseorang. Ini bisa melahirkan fitnah dan merusak hubungan sosial," tegasnya.

Dia pun mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih bijak dalam bersosial media. Sebab, medsos seharusnya menjadi ruang untuk berdakwah, berbagi ilmu, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan, bukan untuk mengumbar atau menikmati aib orang lain.

"Jangan biarkan algoritma menjadikan kita terbiasa pada hal-hal yang mengikis nurani. Mari jaga diri, jaga saudara kita, dan jaga marwah kehidupan di era digital ini," pungkasnya.




(auh/hil)


Hide Ads