Konflik antara Dahlan Iskan dan Jawa Pos makin memanas. Jawa Pos, melalui Direktur Jawa Pos Holding Hidayat Jati buka suara. Dia sampaikan bahwa langkah hukum yang ditempuh terhadap Dahlan Iskan dan Nany Wijaya adalah bagian dari 'penertiban aset perusahaan', bukan serangan personal.
Namun, di balik narasi penataan korporasi, muncul babak baru yang menyentuh sejarah panjang dan relasi emosional antara Dahlan dan media raksasa yang dulu ia besarkan.
"Banyaknya persoalan aset di Jawa Pos terjadi karena di masa lalu, saat Jawa Pos di era kepemimpinan Dahlan Iskan, banyak menggunakan praktek nominee, menitipkan aset/saham pada nama direksi," ujar Jati dalam keterangan tertulis, Minggu (13/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, praktik itu dimulai seiring dengan adanya aturan era Orde Baru yang mengharuskan SIUPP atas nama pribadi. Namun anomali itu terus dibiarkan bahkan setelah regulasi dicabut.
Upaya balik nama disebut sudah didorong sejak 2001 pasca wafatnya pendiri Jawa Pos, Eric Samola.
"Pada awal 2001, pemegang saham mayoritas Jawa Pos sudah mendorong adanya upaya balik nama," ujar Jati.
Tetapi karena jumlah dan penyebaran aset yang sangat besar, "Ada yang bisa diselesaikan dengan kesepakatan, tapi ada yang tersisa dan bahkan jadi sengketa hukum," tambahnya.
Dia juga menyinggung tentang kewajiban Dahlan Iskan terhadap Jawa Pos dan keterkaitannya dengan saham yang dimiliki pendiri Harian Disway tersebut di Jawa Pos.
"Kewajiban Pak Dahlan Iskan pada Jawa Pos itu sangat materiil jumlahnya. Tapi setelah ada pendekatan, semua sepakat dikompensasikan dengan saham beliau. Inilah mengapa saham Pak Dahlan Iskan sejumlah 3,8% di Jawa Pos."
Pernyataan lebih tajam muncul terkait PT Dharma Nyata, perusahaan yang menaungi Tabloid Nyata sebagai aset yang kini sedang disengketakan secara terbuka.
"Semua mantan direksi Jawa Pos tahu betul bahwa aset itu bukan punya mereka dan ada upaya Jawa Pos untuk dilakukan balik nama sejak 2001. Banyak sekali bukti-bukti yang valid tentang ini," tegas Jati.
Ia bahkan menuding perubahan sikap terjadi sejak NW (Nany Wijaya) dicopot dari holding. Di mana deviden yang tadinya lancar tiba-tiba stop sejak 2017, yakni sejak NW dicopot dari holding.
"Makanya, aset PT Dharma Nyata harus Jawa Pos selamatkan," ujarnya.
Meski konflik semakin memanas, Jati mengklaim pintu dialog masih terbuka.
"Kami selalu terbuka untuk itu, karena kami sadar, jika tidak paham betul atas duduk perkara hukum yang ada, akan mudah muncul salah persepsi," ujar Jati.
Dia juga menjelaskan salah satu pemicu penertiban adalah program tax amnesty 2016 yang menjadi momen krusial evaluasi aset.
"Pada RUPS tersebut, keputusan pemegang saham bulat," kata Jati.
Ia mengakui bahwa beberapa aset memang tumpang tindih kepemilikannya dengan pihak lain, termasuk Dahlan.
"Namun, berkat pendekatan yang baik, upaya penertiban di aset-aset Pak Dahlan itu yang prosesnya tadinya rumit, sebagian besar bisa diselesaikan dengan damai dan baik-baik kok," tuturnya.
Contoh kompromi ini adalah penyelesaian kewajiban Dahlan atas proyek PLTU Kaltim maupun pengolahan nanas.
"Jalan keluarnya dengan menjumpakan kewajiban tersebut dengan saham beliau," lanjutnya.
Meski sebagian sengketa diselesaikan secara damai, keputusan untuk menempuh jalur hukum tetap diambil di beberapa kasus. Sebab menurutnya aset Jawa Pos harus diselamatkan dan hukum harus dipatuhi.
(dpe/hil)