Kematian Juliana Marins menjadi perhatian pemerintah Brasil. Kasus ini akan dibawa ke jalur hukum apabila dalam prosesnya ditemukan ada kelalaian yang menyebabkan Juliana meninggal usai terjatuh di Gunung Rinjani.
Saat ini jenazah Juliana Marins menjalani autopsi kedua oleh pihak otoritas Brasil. Apabila hasil autopsi itu menunjukkan ada kelalaian yang menyebabkan perempuan 26 tahun itu meninggal, maka Brasil tak segan-segan akan menempuh jalur hukum.
Juliana meninggal usai terjebak selama 4 hari di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 21 Juni lalu. Advokat HAM dari Kantor Federal Pembela Publik Brasil (Federal Public Defender's Office/DPU), Taisa Bittencourt yang menyatakan otoritas Brasil tengah melakukan autopsi ulang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Autopsi terhadap jenazah Juliana tersebut dilakukan usai adanya permintaan dari pihak keluarga. Bittencourt menuturkan hasil autopsi ini akan menentukan apakah otoritas Brasil akan mengajukan penyelidikan internasional atas kematian Juliana atau tidak.
"Kami menunggu laporan (dari pihak Indonesia) dan setelah laporan ini sampai di kami, kami akan menentukan langkah-langkah selanjutnya. Autopsi kedua ini adalah atas permintaan keluarga Juliana," ucap Bittencourt seperti dikutip media lokal Globo.
Meski demikian, mereka belum memutuskan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. "Kami akan mendukung keluarga berdasarkan hasil autopsi dan apa pun keputusan mereka," kata dia menambahkan.
Bittencourt mengatakan bahwa autopsi ulang ini diminta keluarga karena minim klarifikasi dari otoritas Indonesia terkait penyebab kematian dan kapan tepatnya Juliana meninggal.
DPU dikabarkan telah meminta Kepolisian Federal Brasil untuk menyelidiki apakah ada indikasi pelanggaran kriminal seperti pengabaian yang dilakukan otoritas Indonesia dalam menangani Juliana.
Jika terbukti ada unsur kelalaian dan pembiaran, kasus ini akan diajukan ke badan hukum internasional seperti Inter-American Comission on Human Rights (IACHR).
Sementara, Kantor Jaksa Agung Brasil (AGU) memaparkan akan menuruti permintaan pihak keluarga Juliana untuk mendampingi autopsi ulang jenazah. AGU telah meminta Pengadilan Federal untuk menggelar rapat darurat dengan DPU dan pemerintah untuk menentukan respons yang tepat terkait kasus ini.
"Adalah hal yang penting (untuk melakukan autopsi dan analisis ulang) demi memastikan penyebab kematian. Ini adalah cara untuk menentukan bahwa keluarga korban menerima hak dan pelayanan yang sesuai dengan kerangka hukum Brasil," bunyi pernyataan AGU.
Juliana meninggal setelah terjebak empat hari di puncak Rinjani. Dia diperkirakan jatuh pada 21 Juni sekitar pukul 06.30 waktu setempat. Proses pencarian dilakukan tim SAR gabungan pada hari yang sama sekitar pukul 09.50 WITA. Namun hingga malam hari, tim belum bisa menjangkau lokasi korban.
Baru pada Minggu, tim mengerahkan drone untuk melakukan pencarian namun tidak maksimal karena cuaca buruk dan berkabut. Korban berhasil ditemukan pada Senin sekitar pukul 07.05.
Menurut kepala tim penyelamat, Juliana dalam kondisi tidak bergerak Ketika ditemukan. Namun, tim SAR juga tidak dapat segera mengevakuasi korban karena cuaca buruk dan medan yang ekstrem.
Korban baru bisa dievakuasi pada Rabu (25/6) pagi pukul 06.00 WITA dengan metode lifting secara manual yang dilakukan oleh petugas SAR.
Artikel ini sudah tayang di detikTravel. Baca selengkapnya di sini.
(dpe/dpe)