Konten absurd seperti Tung Tung Tung Sahur, Ballerina Cappucina, hingga Tralalero Tralala masih ramai menghiasi layar gadget anak-anak. Meski tampak aneh dan tidak masuk akal, konten-konten anomali itu membuat anak-anak tertarik. Terutama mereka yang masih pada tahap perkembangan imajinasi.
Dosen Program Studi PG-PAUD Petra Christian University, Dra Lisa Narwastu Kristsuana menilai bahwa sebenarnya tren karakter dalam konten yang umumnya benda mati atau hewan yang berperilaku seperti manusia bukan lah hal baru.
Konten itu menurutnya tetap bisa memicu imajinasi anak. Imajinasi, lanjutnya, adalah aspek penting dalam proses tumbuh kembang anak, terutama sejak usia 2 tahun. Namun, dia ingatkan bahwa saat anak memasuki usia 6 tahun, mereka perlu dikenalkan pada realitas dan dilatih untuk berpikir logis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu kita punya Barbie dan Harry Potter. Tapi yang membedakan, sekarang imajinasinya makin absurd dan tidak terkendali," kata Lisa kepada detikJatim, Jumat (27/6/2025).
Menurut Lisa, konten aneh ini tidak hanya menarik karena bentuk visualnya, tetapi juga karena sistem algoritma yang membuat anak terus-menerus menonton secara pasif.
Faktor yang perlu menjadi perhatian adalah ketika hal itu terjadi anak menjadi terbiasa mengonsumsi konten tanpa makna edukatif yang mana hal itu akan sangat berisiko pada perkembangan otak.
"Ibarat tanaman yang disiram tak beraturan, otak anak-anak bisa rusak. Mereka jadi blank, sulit fokus, dan emosinya ikut kacau," ungkap Lisa.
Fenomena ini berkaitan erat dengan produksi dopamin dalam otak yang tidak stabil akibat paparan konten acak secara berlebihan. Pola ini berisiko memicu kondisi yang kerap disebut brainrot.
Brainrot adalah kondisi di mana otak seseorang kesulitan untuk berkonsentrasi, berpikir jernih, hingga sulit menyerap informasi akibat sering mengonsumsi konten tidak berkualitas.
Dampak brainrot bukan hanya terlihat pada aspek akademik, tapi juga menyentuh sisi emosional dan sosial anak. Lisa mencontohkan banyak anak kini menjadi lebih mudah marah, bicara ketus, bahkan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial dan lebih memilih tenggelam di dunia digital.
"Banyak orang tua mengeluhkan anaknya bicara ketus dan lebih senang menyendiri dengan gadget," katanya.
Meski begitu, Lisa tidak menyarankan orang tua atau orang dewasa langsung melarang anak untuk menontonnya. Justru pendekatan yang komunikatif dan penuh pengertian akan jauh lebih efektif.
"Semakin dilarang, makin anak melawan. Kita harus jadi teman bicara yang bijak, bukan penghakim," katanya.
Dia pun menekankan pentingnya membangun relasi yang kuat dan komunikasi yang hangat antara anak dengan orang dewasa. Intinya, anak harus merasa dirinya berharga.
"Bukan karena diterima teman, tapi karena tahu dirinya dikasihi," tambahnya.
Orang tua dan guru pun diharapkan aktif belajar, bukan hanya soal perkembangan teknologi digital, tapi juga mengenai nilai-nilai yang membentuk karakter anak di tengah gempuran dunia digital.
(dpe/abq)