Ketegangan antara Iran dan Israel masih memanas. Konflik ini pun memberikan dampak terhadap ekonomi, baik secara global maupun domestik.
Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Prof Rossanto Dwi Handoyo pun menyoroti sejumlah dampak ketegangan tersebut. Pertama, konflik antara Iran-Israel akan mengganggu supply serta demand minyak dunia.
Sebab, Iran merupakan salah satu negara pengekspor minyak yang terbesar di dunia. Sehingga ketegangan yang terjadi di sana berpotensi meningkatkan harga minyak dan secara otomatis membuat biaya produksi meningkat hingga berpengaruh ke naiknya harga barang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di titik ini, harga yang naik akan meningkatkan inflasi internasional kalau berlangsung cukup lama. Kalau konflik ini bertahan lama seperti Rusia-Ukraina, maka akan cukup berat bagi dunia, dapat terjadi ketidakstabilan harga," ujar Rossanto, Sabtu (21/6/2025).
Ia melanjutkan bahwa dunia pun berpotensi mengalami stagflation.
"Stagflation ini adalah stagnation plus inflation, artinya pertumbuhan ekonomi dunia menurun dan inflasi dunia meningkat," lanjutnya.
Rossanto pun menyoroti terkait demografis Iran dan Israel yang menjadi jalur pelayaran ekspor dunia. Maka dengan terjadinya konflik di wilayah akan memaksa berbagai negara mencari jalur perdagangan lainnya yang kemungkinan lebih jauh sehingga harga jual otomatis meningkat dapat mengganggu rantai pasok dunia.
"Di sisi lain, ketegangan ini juga akan memberikan risiko terhadap ketidakpastian ekonomi global. Investor dunia akan berpikir panjang kalau melakukan investasi, pastinya negara-negara Arab dihindari. Terjadinya penurunan investasi global ini berdampak pada menyusutnya perdagangan global," paparnya.
Sedangkan di ranah ekonomi domestik, sebagai negara pengimpor minyak maka meningkatnya harga minyak dunia juga dapat berpengaruh pada bertambahnya pembiayaan yang perlu dikeluarkan oleh Indonesia.
Menurutnya, meski saat ini neraca perdagangan Indonesia masih surplus, akan tetapi dengan adanya konflik dapat mengakibatkan surplus perdagangan tersebut makin kecil. Meski jumlah ekspor Indonesia ke Timur Tengah jumlahnya kecil, namun ada permasalahan yakni posisinya sebagai jalur pelayaran.
"Sebetulnya ekspor kita ke Timur Tengah tidak begitu besar, tidak sampai lima persen dari jumlah ekspor kita. Tetapi, Timur Tengah itu jalur pelayaran ke Eropa, sehingga kalau ada masalah, otomatis biaya logistik ke Eropa semakin mahal. Kalau logistik mahal, ekspor kita menurun karena importir di Eropa akan mengalihkan ekspor ke negara lain yang lebih murah," jelasnya.
Maka dirinya menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan yang bisa mengamankan kondisi pasar dalam negeri dengan mengurangi impor.
"Kalau ekspor kita mengalami penurunan, paling tidak impornya juga harus diturunkan. Produk yang selama ini impor jika bisa digantikan dengan produk dalam negeri," tuturnya.
Selain itu menurutnya pemerintah juga perlu menggunakan instrumen kebijakan fiskal serta moneter dalam mengatasi dampak konflik Iran-Israel.
Dalam kebijakan fiskal, pemerintah bisa menerapkan kebijakan perdagangan yang restriktif (membatasi aktivitas ekonomi). Mengingat banyak negara melakukan tindakan restriktif sebab kebijakan tarif Amerika Serikat.
Sedangkan dalam kebijakan moneter, Rossanto menyarankan penerapan cara yang ekspansif. Menurutnya, Indonesia harus mengandalkan kekuatan dari dalam negeri sebab kondisi ekonomi internasional saat ini penuh ketidakpastian.
"Karena inflasi Indonesia sudah terkendali, mungkin Indonesia bisa mulai ngegas dengan menurunkan suku bunga. Akhirnya, investasi meningkat, kredit modal kerja juga meningkat. Masyarakat akan lebih banyak pinjam uang di bank sehingga menggerakkan roda ekonomi," pungkasnya.
(auh/hil)