Fenomena silent quitting atau pengunduran diri diam-diam di dunia kerja kerap menjadi perdebatan. Namun fenomena ini rupanya memiliki kaitan erat dengan sisi psikologis. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Dr Fajrianthi mengungkapkan bahwa fenomena ini dipicu banyak faktor.
"Silent quitting adalah reaksi terhadap berbagai stresor di tempat kerja, seperti ketidakpuasan kerja, ketidakseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan, burn out, serta kepemimpinan yang buruk," ujar Fajrianthi, Jumat (9/5/2025).
Ia menjelaskan fenomena itu bisa muncul ketika karyawan merasa tidak mendapat dukungan di lingkungan kerja, tidak terhubung dengan organisasi, hingga tengah berada pada lingkungan kerja yang bertekanan tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Beberapa faktor psikologis lain yang dapat menyebabkan silent quitting seperti burn out akibat stres kerja berkepanjangan, ketidakpuasan kerja karena kurang pengakuan, kurangnya dukungan organisasi, serta budaya organisasi yang toksik," katanya.
Dosen Psikologi Unair itu juga menyebutkan berdasarkan dari beberapa jurnal hasil penelitian, fenomena silent quitting ternyata banyak ditemukan terjadi pada generasi millenial serta Gen Z.
"Generasi ini cenderung mengutamakan keseimbangan hidup kerja dan mencari makna dalam pekerjaan. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, mereka cenderung menarik diri secara emosi dari pekerjaan," bebernya.
Fajrianthi juga menerangkan dampak negatif fenomena silent quitting yang berkelanjutan bagi kesehatan mental individu. Dia tekankan budaya organisasi punya peran yang penting di dalam mencegah atau bahkan justru memperparah silent quitting.
"Budaya positif dengan komunikasi terbuka dan dukungan terhadap kesejahteraan karyawan dapat meningkatkan keterlibatan. Sebaliknya, budaya negatif yang dicirikan hierarki kaku, kurangnya transparansi, dan kompetisi internal bisa menjauhkan karyawan, memicu ketidakpedulian yang akhirnya mengarah pada silent quitting," terangnya.
Sehingga sebagai solusi, dia pun menyampaikan sejumlah beberapa rekomendasi pendekatan yang bisa membantu memulihkan motivasi serta keterlibatan kerja para karyawan.
"Contoh yang dapat dilakukan seperti meningkatkan dukungan organisasi, mengembangkan kepemimpinan, memperbaiki komunikasi, serta memberikan otonomi dan fleksibilitas kerja kepada karyawan," pungkasnya.
(dpe/abq)