Peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April tak lepas dari peran Presiden Soekarno yang menetapkan RA Kartini sebagai pahlawan nasional lewat Keppres No 108 Tahun 1964. Penetapan ini menjadi pengakuan atas perjuangan Kartini dalam memperjuangkan hak dan pendidikan bagi perempuan di tengah budaya patriarki Jawa.
Hari Kartini menjadi momentum penting yang tidak hanya mengenang sosok pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini, tetapi juga menegaskan kembali semangat perjuangan perempuan dalam meraih kesetaraan.
Penetapan peringatan ini merupakan hasil dari perjuangan panjang yang berakar pada pemikiran dan cita-cita mulia seorang perempuan luar biasa dari Jepara itu. Melalui surat-suratnya yang menggugah, Kartini menyuarakan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan melawan budaya patriarki yang mengekang peran perempuan di masanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari situlah, lahir sebuah warisan pemikiran yang terus hidup dan relevan hingga saat ini. Tapi bagaimana awal mula peringatan Hari Kartini ditetapkan secara resmi? Mari telusuri sejarah singkat peringatan Hari Kartini 21 April.
Sejarah Peringatan Hari Kartini
Hari Kartini secara resmi ditetapkan sebagai hari besar nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964 yang dikeluarkan Presiden Soekarno. Dalam keputusan tersebut, Raden Ajeng (RA) Kartini diakui sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sekaligus menetapkan tanggal kelahirannya, 21 April, sebagai Hari Kartini.
Keputusan ini bukan hanya bentuk penghormatan simbolik, tetapi pengakuan terhadap kontribusi Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia. Penetapan tersebut dilandasi pemahaman mendalam bahwa perjuangan Kartini membuka jalan baru bagi perempuan untuk keluar dari belenggu budaya patriarki.
Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879, dalam keluarga bangsawan Jawa. Meski berasal dari kalangan priyayi, Kartini merasakan sendiri keterbatasan yang dialami perempuan pada masa itu. Ia hidup dalam tradisi yang meminggirkan perempuan dari pendidikan dan kehidupan publik.
Kartini kemudian menjadi ikon perjuangan perempuan, dikenal karena pemikirannya yang visioner dan progresif tentang peran perempuan dalam masyarakat. Ia adalah salah satu tokoh awal yang menyuarakan pentingnya pendidikan sebagai alat utama untuk mencapai kesetaraan.
Sebagai anak bupati, Kartini memiliki akses pendidikan dasar, namun ketika menginjak usia 12 tahun, ia harus menjalani masa pingitan selama enam tahun, sesuai tradisi adat bangsawan Jawa. Masa pingitan ini membatasi kebebasan fisik dan sosialnya. Namun, Kartini justru menemukan jalannya sendiri menuju kebebasan intelektual.
Selama pingitan, Kartini memperkaya dirinya dengan membaca buku, surat kabar, dan majalah dari Belanda. Ia membaca karya-karya feminis, sastra, serta tulisan ilmiah yang membuka wawasannya tentang dunia luar dan hak-hak perempuan di negara lain. Bacaan-bacaan ini memperkuat tekadnya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan pribumi.
Kartini pun menjalin korespondensi intensif dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, seperti Estelle (Stella) Zeehandelaar dan Nellie van Kol. Dalam surat-suratnya, ia membahas isu-isu sosial, budaya, pendidikan, dan kebebasan perempuan. Gagasan-gagasan itu ditulis dengan keberanian dan kecerdasan luar biasa.
Surat-surat tersebut menjadi bukti Kartini memiliki pemahaman mendalam terhadap ketimpangan sosial, dan memiliki visi masa depan untuk perempuan Indonesia. Sebagian besar surat itu kemudian dihimpun dan diterbitkan dalam buku terkenal berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya).
Kartini banyak menyerap gagasan humanisme dan feminisme dari Eropa, namun ia tidak menelan mentah-mentah semua itu. Ia mengadaptasinya dalam konteks keindonesiaan, menunjukkan kebijaksanaan dan kemampuan berpikir kritis. Ia tidak ingin hanya meniru barat, melainkan membentuk sistem yang sesuai untuk bangsanya.
(hil/irb)