Viral Merek Tuak, Beer dan Wine Dapat Label Halal, Ini Aturan Sertifikasi

Viral Merek Tuak, Beer dan Wine Dapat Label Halal, Ini Aturan Sertifikasi

Sri Rahayu - detikJatim
Rabu, 02 Okt 2024 17:05 WIB
Sertifikasi halal Kemenag penting diurus guna mendapatkan label halal pada suatu produk. Bagaimana cara mengurusnya? Apa saja yang perlu disiapkan?
Sertifikasi halal Kemenag. Foto: Infografis: Denny Pratama/detikcom
Surabaya -

Belakangan ini, media sosial dihebohkan produk dengan merek Tuak, Beer, dan Wine mendapatkan sertifikasi halal BPJPH Kementerian Agama (Kemenag). Hal ini mengundang berbagai reaksi mengingat nama produknya bertolak belakang dengan esensi label kehalalan produk.

Untuk itu perlu dipahami ketentuan yang sebenarnya terkait sertifikasi halal untuk suatu produk. Berikut ini pengertian, syarat, hingga prosedur mendapatkan sertifikat halal untuk suatu produk sebelum dipasarkan.

Produk Merek 'Tuak, Beer, dan Wine' Dapat Label Halal

Dilansir dari laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), produk merek tersebut memperoleh sertifikat halal dari BPJPH Kemenag, bukan dari MUI. Produk-produk itu mendapatkan label halal melalui jalur self declare atau tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa melalui penetapan kehalalan Komisi Fatwa MUI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MUI menegaskan penetapan label halal itu menyalahi standar Fatwa MUI dan tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk tersebut.

Sementara itu, BPJPH Kemenag menyebut permasalahan itu terkait penamaan produk, sedangkan produknya dipastikan kehalalannya. Sebab, produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku.

ADVERTISEMENT

BPJPH Kemenag menjelaskan, penamaan produk halal sebetulnya sudah diatur regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Juga, Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.

Peraturan tersebut menegaskan pelaku usaha tidak diperkenankan mengajukan pendaftaran sertifikasi halal untuk produk yang namanya bertentangan dengan syariat Islam, atau tidak sesuai etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Pun begitu, masih banyak produk yang namanya menggunakan kata "wine" dan "beer" mendapatkan sertifikat halal, baik yang ketetapan halalnya dikeluarkan Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal.

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapat soal penamaan produk dalam proses sertifikasi halal. Namun, perbedaan itu sebatas soal diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama itu, tetapi tidak terkait aspek kehalalan zat dan prosesnya yang memang telah dipastikan halal.

Apa Itu Sertifikasi Halal?

Merangkum laman Universitas Muhammadiyah Surabaya, kebijakan sertifikasi halal di Indonesia diperkenalkan pertama kali pada tahun 2001 melalui Keputusan Menteri Agama No 518 Tahun 2001, yang mengatur ketentuan dan tata cara pemberian label halal pada produk yang dipasarkan.

Sertifikasi halal adalah pengakuan bahwa suatu produk telah memenuhi syarat-syarat tertentu dalam proses produksinya, mulai dari bahan baku hingga cara penyajian, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Untuk mendapatkan sertifikat halal, produk harus bebas dari bahan yang haram (dilarang) dan diproses dengan cara yang sesuai.

Kebijakan sertifikasi halal ini telah menjadi isu krusial bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Awal mula kebijakan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang ditandatangani Presiden SBY pada tahun 2014 dan mulai berlaku pada tahun 2019.

Dokumen Persyaratan Pendaftaran Sertifikasi Halal MUI

Hal yang paling penting dalam pengajuan sertifikasi halal adalah menyiapkan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. Dokumen yang perlu disiapkan untuk mengurus sertifikasi halal meliputi sebagai berikut.

  • Surat permohonan
  • Aspek legal (NIB)
  • Dokumen penyelia halal
  • Daftar produk dan bahan yang digunakan
  • Proses pengolahan produk
  • Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)
  • Ikrar pernyataan halal dari pelaku usaha

Selain dokumen-dokumen di atas, ada sejumlah dokumen yang perlu diunggah perusahaan untuk proses pemeriksaan kehalalan produk selanjutnya. Berikut dokumen yang perlu diunggah perusahaan untuk keperluan sertifikasi halal.

  • Ketetapan halal sebelumnya untuk kelompok produk yang sama (khusus bagi registrasi pengembangan atau perpanjangan).
  • Manual SJH/SJPH untuk registrasi baru, pengembangan dengan status SJH B, atau perpanjangan.
  • Status/sertifikat SJH terakhir untuk registrasi pengembangan dan perpanjangan.
  • Diagram alir proses produksi untuk produk yang didaftarkan (untuk setiap jenis produk).
  • Pernyataan dari pemilik fasilitas produksi bahwa fasilitas produksi yang kontak langsung dengan bahan dan produk (termasuk peralatan pembantu) tidak digunakan secara bergantian untuk menghasilkan produk halal dan produk yang mengandung babi/turunannya, atau jika pernah digunakan untuk memproduksi produk yang mengandung babi dan turunannya, maka telah dilakukan pencucian tujuh kali menggunakan air dan salah satunya dengan tanah, sabun, deterjen atau bahan kimia yang dapat menghilangkan bau dan warna najis.
  • Daftar alamat seluruh fasilitas produksi, termasuk pabrik maklon dan gudang bahan/produk intermediet. Khusus untuk restoran, fasilitas yang diinformasikan perlu mencakup kantor pusat, dapur eksternal, gudang eksternal, dan tempat makan/minum. Khusus untuk produk gelatin, jika bahan baku (kulit, tulang, kerongkongan, bone chips, dan/atau ossein) tidak bersertifikat halal, maka alamat seluruh pemasok bahan baku, juga harus dicantumkan.
  • Bukti diseminasi kebijakan halal.
  • Bukti kompetensi tim manajemen halal, seperti sertifikat penyelia halal, sertifikat pelatihan eksternal dan/atau bukti pelatihan internal (daftar kehadiran, materi pelatihan dan evaluasi pelatihan). Khusus registrasi pengembangan fasilitas, diperlukan bukti pelatihan internal di fasilitas baru tersebut.
  • Bukti pelaksanaan audit internal SJH.
  • Bukti izin perusahaan seperti NIB, Surat Izin Usaha Industri, Surat Izin Usaha Mikro dan Kecil, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), atau Surat Keterangan Keberadaan Sarana Produksi yang diterbitkan oleh perangkat daerah setempat (untuk perusahaan yang berlokasi di Indonesia).
  • Sertifikat atau bukti penerapan sistem mutu atau keamanan produk (bila ada), seperti sertifikat HACCP, GMP, FSSC 22000 untuk pangan, sertifikat laik hygiene sanitasi untuk restoran dan jasa boga, Cara Pembuatan Pangan yang Baik (CPPB), Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik, dan sebagainya.
  • STTD dari BPJPH
  • Khusus untuk pendaftaran rumah potong hewan, terdapat tambahan data yang diperlukan sebagai berikut.
    • Nama penyembelih
    • Metode peyembelihan (manual atau mekanik)
    • Metode stunning (tidak ada stunning/ada stunning mekanik atau elektrik)

Prosedur Pendaftaran Sertifikasi Halal

UU JPH mewajibkan seluruh produk yang beredar di Indonesia memiliki sertifikasi halal. Kewajiban sertifikasi halal tahap pertama akan mulai berlaku 17 Oktober 2024, terutama untuk produk makanan dan minuman, serta hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Sertifikasi halal ini dikeluarkan LPPOM MUI atau lembaga sertifikasi halal yang terakreditasi BPJPH Kemenag. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah melindungi hak konsumen untuk memperoleh produk halal dan meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global.

Dilansir dari PPDI UMKM Provinsi Jawa Tengah, sertifikasi halal melibatkan tiga pihak, yaitu BPJPH, LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI. BPJPH melaksanakan penyelenggaraan jaminan produk halal.

LPPOM MUI melakukan pemeriksaan kecukupan dokumen, penjadwalan audit, pelaksanaan audit, pelaksanaan rapat auditor, penerbitan audit memorandum, penyampaian berita acara hasil audit pada rapat Komisi Fatwa MUI.

MUI melalui Komisi Fatwa menetapkan kehalalan produk berdasarkan hasil audit dan menerbitkan Ketetapan Halal MUI. Tahapan proses sertifikasi halal MUIuntuk produk yang beredar di Indonesia sebagai berikut.

1. Permohonan STTD ke BPJHP

Pendaftaran sertifikasi halal dimulai dengan pengajuan permohonan STTD ke BPJPH Kemenag. Informasi mengenai pengajuan permohonan STTD dan dokumen yang diperlukan dapat ditemukan di situs www.halal.go.id.

2. Pendaftaran di Sistem Cerol

Perusahaan memilih LPPOM MUI untuk pemeriksaan kehalalan produk. Pendaftaran ke LPPOM MUI dilakukan secara online melalui sistem CEROL-SS23000 di www.e-lppommui.org. Panduan prosedur pendaftaran sertifikasi halal dalam sistem CEROL-SS23000 dapat diakses di situs tersebut.

Dalam sistem online CEROL-SS23000, perusahaan perlu mengisi data registrasi, data fasilitas, data produk, data bahan, data matriks bahan versus produk, serta mengunggah dokumen yang diperlukan.

3. Preaudit dan Pembayaran Akad

LPPOM MUI melakukan preaudit, sementara perusahaan melakukan pembayaran pemeriksaan kehalalan.

4. Penjadwalan Audit

Dengan adanya penjadwalan audit, perusahaan, dan auditor dapat menyepakati jadwal pelaksanaan audit.

5. Pelaksanaan Audit

Pada tahapan ini audit akan melakukan pelaksanaan auditor dalam memeriksa penerapan Sistem Jaminan Halal yang mencakup 11 kriteria SJH.

6. Rapat Auditor dan Analisis LAB

Dengan melakukan rapat auditor dan analisis LAB pembahasan hasil audit dalam rapat auditor dan LPPOM MUI dapat menguji sampel bahan/produk.

7. Keputusan Status SJH

Pada tahapan ini dilakukan penilaian kecukupan pemenuhan kriteria SJH untuk lanjut ke rapat Komisi Fatwa.

8. Rapat Komisi Fatwa

Masuk pada tahapan ini akan dilakukan penetapan kehalalan produk oleh Komisi Fatwa MUI.

9. Penerbitan Ketetapan Halal MUI dan Status/Sert SJH

Pada tahapan ini akan dilakukan penerbitan Perusahaan memperoleh Ketetapan Halal MUI dan Status/Sertifikat SJH.

10. Penerbitan Sertifikat Halal

Perusahaan memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH berdasarkan Ketetapan Halal MUI.

BPJPHKemenag juga memiliki program Sehati yang diluncurkan pada tahun 2021, yaitu program sertifikasi halal gratis untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam mendapatkan sertifikat halal tanpa biaya.

Program ini berlaku untuk produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, dan barang kebutuhan sehari-hari yang memenuhi syarat halal sesuai standar yang ditetapkan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Artikel ini ditulis oleh Sri Rahayu, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads