Potensi gempa megathrust di kawasan Indonesia tidak dapat diabaikan. Masyarakat tak perlu panik, namun harus melakukan mitigasi untuk meminimalisir korban jiwa dan kerugian saat terjadi bencana.
Salah satu penyebab jatuhnya korban jiwa saat gempa adalah akibat reruntuhan bangunan. Maka, penguatan struktur bangunan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
Dosen Teknik Sipil ITS Prof Tavio menerangkan, Indonesia telah memiliki standar nasional untuk bangunan tahan gempa yang bisa menjadi pedoman pembangunan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus memenuhi ketentuan detailing sesuai SNI 2847: 2019, semakin tinggi risiko kegempaan suatu daerah, semakin ketat persyaratan pendetailan penulangan yang harus dipenuhi sesuai ketentuan beban gempa sebagaimana SNI 1726:2019," kata Tavio dalam webinar Menghadapi Gempa Megathrust dengan Solusi Perkuatan Bangunan, Sabtu (31/8/2024).
Tavio menerangkan, dalam standar itu sudah dijelaskan karakteristik material beton dan baja tulangan yang harus digunakan. Telah diatur pula kaidah-kaidah untuk pengerjaan bangunan. Namun, sayangnya standar itu selama ini hanya digunakan pada gedung bertingkat.
"SNI itu untuk gedung. Kenyataannya di Indonesia gedung hanya untuk sekelompok orang yang tinggal di sana. Sementara di perumahan rakyat pinggiran kota, hingga pelosok, jumlahnya lebih banyak tetapi kurang dilindungi. Masyarakat juga tidak menguasai ilmu teknologi di bidang bangunan," ujarnya.
Oleh karena itu, ia menyampaikan salah satu konsep yang bisa dikembangkan yakni peredam dasar murah berbasis karet lokal untuk bangunan. Apalagi, Indonesia termasuk negara dengan penghasil karet alam.
"Dengan penambahan karet di bagian dasar bangunan bisa didapatkan keuntungan dan keamanan yang luar biasa baik selama gempa, penghuni tidak perlu meninggalkan bangunan rumah mereka, tapi juga pascagempa di mana diperlukan perbaikan minimum berbiaya murah bahkan tidak memerlukan perbaikan sama sekali," tutur Tavio.
Peneliti lainnya dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim ITS Ahmad Basshofie Habieb juga menyampaikan beberapa rekomendasi untuk mewujudkan rumah atau hunian ramah gempa.
"Bisa diperkuat dengan kawat anyam, paku payung, plester, dan perkuatan dengan bambu untuk bagian dinding. Caranya dengan ambil kulit bambu dan dagingnya, beri lubang dan lakukan metode perekatan antara bambu, batu bata, dan semen," kata Basshofie.
Ia juga menyarankan membuat peredam gempa dengan campuran pasir dan limbah karet untuk diletakkan di tanah yang akan menjadi tempat berdirinya bangunan.
"Gali tanah asli, ganti dengan pasir kerikil dan limbah karet. Jika terjadi gempa, goyangan bisa diredam dengan signifikan," jelasnya.
Beberapa penelitian tersebut, bisa menjadi rekomendasi untuk para pelaku konstruksi maupun masyarakat dalam mewujudkan rumah yang tahan gempa.
Seperti yang dikatakan Perekayasa Ahli Utama Balai Hidrolika dan Geoteknik Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR Ari Setiadi Moerwanto, bahwa perlu ada paradigma membangun dengan lebih baik dan aman pada kalangan masyarakat.
"Penerapan infrastruktur tahan gempa harus dilakukan pada semua lini pembangunan, disertai dengan sosialisasi, edukasi, dan literasi kepada masyarakat dan pelaku konstruksi," kata Ari.
(abq/hil)