BMKG menyebut ada 13 segmentasi sumber gempa megathrust. Salah satunya di Jawa Timur yakni Magnitudo M 8,7.
Kepala Pusat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Prof Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa megathrust adalah sumber gempa subduksi lempeng. Dari subduksi lempeng ini terdapat dua bidang kontak antar dua lempeng tektonik di kedalaman dangkal kurang dari 50 km.
"Megathrust dapat dianalogikan sebagai patahan dengan dorongan naik yang besar karena mampu mengakumulasi energi medan tegangan gempa kuat yang menimbulkan rekahan panjang dan bidang pergeseran yang luas," jelas Dwikorita dalam webinar Waspada Gempa Megathrust yang digelar ITS, Selasa (20/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun 13 segmentasi sumber gempa zona megathrust di antaranya:
1. Megathrust Aceh-Andaman M 9,2
2. Megathrust Nias-Simeulue M 8,7
3. Megathrust Kepulauan Batu M7,8
4. Megathrust Mentawai-Siberut M 8,9
5. Megathrust Mentawai-Pagai M 8,9
6. Megathrust Enggano M 8,4
7. Megathrust Selat Sunda - Banten M 8,7
8. Megathrust Jabar - Jateng M 8,7
9. Megathrust Jawa Timur M 8,7
10. Megathrust Sumbe M 8,5
11. Megathrust Sulawesi Utara M 8,5
12. Megathrust Lempeng Laut Filipina M 8,2
13. Megathrust Utara Papua M 8,7
Saat megathrust terjadi, bisa memicu gempa dengan tingkat desatruktif yang cukup tinggi hingga bisa menyebabkan tsunami.
"Namun kita bisa lihat trennya gempa. Di kala gempa yang kecil semakin meningkat, kita harus segera siaga. Penyampaian potensi megathrust ini mengingatkan semua pihak untuk berlatih dan menyiapkan mitigasinya," ungkap Dwikorita.
Dia menerangkan bahwa BMKG telah melakukan serangkaian mitigasi mulai dari menyiagakan 533 sensor seismograf untuk mendeteksi gempa. Selain itu mengadakan sekolah lapang gempa bumi dan tsunami, hingga sosialisasi kepada masyarakat.
Dwikorita pun mengimbau agar masyarakat tidak perlu panik. Sebab informasi potensi gempa dan tsunami merupakan upaya persiapan untuk mencegah risiko kerugian sosial, ekonomi, dan korban jiwa saat bencana terjadi.
"Informasi potensi gempa megathrust bukanlah prediksi atau peringatan dini, sehingga jangan dimaknai secara keliru, seolah akan terjadi dalam waktu dekat, padahal tidak demikian. Masyarakat diimbau untuk tetap beraktivitas seperti biasa," imbaunya.
Sebagai contoh, Dwikorita mengajak masyarakat bisa meneladani publik di Jepang yang tidak mudah panik saat memahami potensi bencana. Apalagi di Jepang sudah ada perilaku mengamati gempa sejak 1.137 tahun lalu. Terutama dari gempa Hakuho Nankai dan dampak tsunaminya di tahun 684.
Justru potensi bencana yang disampaikan, terutama dari para pakar bisa menjadi bahan untuk menata upaya mitigasi yang lebih baik.
"Di Indonesia sejak kejadian Aceh, mulai kompak. Publik memiliki literasi gempa dan tsunami yang sangat baik, sehingga kalau mendapat informasi tidak kagetan dan tidak heboh. Kami juga terus belajar dengan Jepang. Tujuannya untuk menyempurnakan mitigasi," pungkasnya.
(dpe/fat)