Tangis haru langsung pecah saat Marmi (74) bertemu dengan ibunya Wiji (94) di Desa Kaliwungu, Kecamatan Ngunut, Tulungagung. Mereka sempat terpisah dan kehilangan kontak selama 40 tahun.
Wiji yang hampir berusia satu abad itu dengan erat memeluk Marmi. Dia berulang kali mencium anaknya. "Ya Allah, Ya Allah," ucap Wiji, Senin (29/4/2024).
Marmi datang ke Ngunut, Tulungagung bersama anaknya Suyadi alias Yatimin setelah berhasil melacak keberadaan keluarganya melalui bantuan media sosial pemerintah desa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perempuan itu menceritakan bahwa pada 1976 silam ia bersama suami dan anaknya pamit merantau ke Simalungun, Sumatera Utara. Saat di perantauan Marmi sempat beberapa kali berkomunikasi dengan keluarganya di Tulungagung melalui surat.
"Waktu itu berangkat 4 orang, saya, suami saya Sumani, dan anak saya Trimo dan Suyadi. Kemudian tahun 1984 saya dan Trimo sempat pulang, kemudian balik lagi," kata Marmi.
Kesibukan di perantauan hingga pindah ke Bengkalis, Riau membuat mereka jarang berkirim kabar. Hingga akhirnya mereka kehilangan kontak dan sama sekali tidak berkomunikasi.
Hal senada disampaikan Suyadi. Dia mengakui sempat lalai sehingga tidak bisa lagi berkomunikasi dengan keluarganya di Ngunut, Tulungagung. Keinginan untuk melacak keluarga neneknya akhirnya muncul pada 2019. Dibantu salah satu keponakan, mereka mulai melakukan upaya pencarian.
Hingga akhirnya April 2024, keponakannya mencoba mengirim pesan ke akun Instagram Kantor Desa Kaliwungu. Saat itu pihaknya menjelaskan secara rinci keluarga nenek Wiji yang dicari.
"Disebutkan namanya nenek siapa, kemudian saudara ibu saya siapa saja dan sebagainya," kata Suyadi.
![]() |
Gayung bersambut, admin Instagram Desa Kaliwungu merespons pesan dari keluarga Marmi. Bahkan pihak desa juga membantu berkomunikasi dengan keluarga Wiji.
"Alhamdulillah, kami langsung komunikasi dengan Mbah Wiji dan keluarganya. Ternyata benar. Saat kami tunjukkan fotonya, mereka semakin yakin," kata salah satu perangkat Desa Kaliwungu, Nur Yusuf. Setelah dapat kepastian, Marmi dan Suyadi bertolak dari Riau ke Tulungagung menemui orang tuanya.
"Saya sangat senang sekali, nyatanya saya masih punya embah (nenek)," ujar Suyadi. "Sekarang saya mau di sini dulu biar terobati kangennya," sahut Marmi.
Sementara itu kebahagiaan serupa juga disampaikan Nenek Wiji. Menurutnya, kebahagiannya bisa bertemu dengan anak dan cucunya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Saiki wis bungah, wong ilang sampun temu malih (sekarang ya senang, yang hilang sudah ketemu kembali)," kata Wiji.
Wiji bercerita sejak kehilangan kontak dengan keluarga anaknya, dia selalu kepikiran dan selalu berdoa agar anak cucunya diberikan keselamatan.
"Sampai-sampai saya itu kalau ke pasar, ada bus datang saya tungguin. Siapa tahu anak saya pulang, saking kangennya," kata Wiji.
Puluhan tahun tak ada kabar. Puncaknya pascatsunami Aceh 2004 Wiji mendengar kabar bahwa keluarga anaknya meninggal akibat bencana itu. Dia mulai mengikhlaskan seiring perhelatan selamatan untuk orang meninggal.
"Sudah selamatan berulang kali, ikhlas tidak ikhlas ya saya ikhlaskan. Ya Allah, hati tidak karu-karuan. Sekarang sudah senang," ujarnya.
(dpe/iwd)