Penerapan bayar parkir pakai QRIS mendapat pro kontra dari warga, terutama para juru parkir (Jukir). Sebagian membayar pakai QRIS lebih simple. Sementara ada yang menganggap pembayaran cash dianggap lebih mudah.
Salah satu jukir di Jalan Tunjungan, Faisal (24) mengaku tak setuju dengan sistem digitalisasi. Sebab dengan sistem bagi hasil, para jukir mendapat hasil yang lebih sedikit dibanding pembayaran tunai.
"Menyusahkan, soale teko (Dari) Dishub 70%, aku 30%. Misal oleh (dapat) Rp 200 ribu, aku oleh Rp 60 ribu, Dishubnya Rp 160 ribu," kata Faisal saat di Jalan Tunjungan, Kamis (11/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, jukir setor uang parkir ke Dishub langsung sebanyak Rp 40 ribu dalam kondisi sepi maupun ramai. Bila dalam sehari mendapat hasil Rp 150 ribu, maka yang disetor ke Dishub Rp 40 ribu dan Faisal mendapat Rp 110 ribu.
"Ramai mesti Sabtu malam Minggu bisa Rp 200 ribu per hari. Motor Rp 2 ribu, mobil Rp 5.000. Karcis kadang-kadang ada yang minta dikasih, kalau nggak ya ga. Kalau nggak ada, ya bilang maaf nggak ada," ceritanya.
Dia mendesak tidak ada sistem pembayaran non tunai di kawasan Tunjungan. Pihaknya bersedia menyetor lebih tinggi ke Dishub Surabaya asal tidak ada sistem QRIS. Mereka menganggap sistem QRIS yang diterapkan tidak ada sosialisasi terlebih dahulu. Sehingga saat ada penerapan pada Senin (8/1/2024) maka terjadi penolakan.
"Langsung ditolak. Manual ae (Cash), kalau bisa nggak pakai QRIS, kalau setorannya dinaikkan nggak papa, tergantung Dishub. Pengene (Inginnya) 70%, buat Dishub 30%. Seng kerjo Iki aku, Dishub meneng ae (yang kerja ini aku, dishub diam saja)," jelasnya.
Hal berbeda diungkap Muhammad Sujai (62), jukir di Jalan Jimerto. Dia tidak menolak kebijakan baru tersebut. Ia justru menyerahkan kepada warga, bisa membayar dengan tiga cara versinya.
"Aturan sini nggak keberatan. Kadang-kadang ada yang tunai, QRIS, kartu (e-money). Pakai tunai bisa, QRIS boleh, kartu ya bisa. Orang terserah mau QRIS atau tunai," kata Warga Sidotopo Jaya.
Sujai menyebut, semua uang tunai maupun non tunai yang didapat disetor semua ke Dishub Surabaya. Sebab, setiap bulannya sudah digaji Pemkot Surabaya sebesar Rp 3,6 juta.
"Sehari pendapatan nggak tentu, sekarang dipindah semua pegawai, agak sepi. Di sini nggak sampai Rp 100 ribu. Seadanya dikasih ke dishub. Pokok dapat Rp 30 ribu, ramai Rp 50 ribu. Saya sudah dibayar pemkot, ndak pembagian," jelasnya.
Begitu pula dengan Jamaludin, salah satu jukir di Jalan Sedap Malam. Ia menyebut pemasangan papan scan barcode di kawasan Balai Kota sudah lumayan lama, namun masyarakat lebih memilih bayar tunai.
"Kurang lebih 1 bulan (dipasang qr code).Orang-orang jarang pakai itu. Kebanyakan ga mau (non tunai), maunya cash. Motor Rp 2 ribu dan mobil Rp 5 ribu," pungkasnya.
(esw/fat)