Keributan di Masjid Al Muttaqun Kelurahan Manisrenggo, Kota Kediri pada Selasa dan Rabu (12-13/12) berlanjut ke kepolisian. Pihak ahli waris yang mengaku menjadi korban membawa kejadian itu ke jalur hukum dengan melapor ke polisi.
Keterangan tersebut diutarakan oleh ahli waris, Arman dan ketua tim pendamping keluarga Rahmad Mahmudi. Pihak ahli waris menampilkan kronologis kejadian melalui video rekaman di ponsel. Dijelaskan Arman, keributan pertama terjadi di hari Selasa (12/12) saat hendak Salat Magrib.
"Kami sebagai takmir baru menunjuk Luqman Hakim untuk menjadi imam Salat Magrib. Namun ZA selaku bendahara takmir yang lama hendak menjadi imam. Saat saya berikan penjelasan ZA tetap kekeh dan akhirnya terjadi keributan saling dorong. Tanpa disadari Luqman Hakim diseret keluar dan dipukuli," jelas Arman, Kamis (21/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keesokan harinya, kejadian tersebut terulang juga pada saat Magrib. Pihak takmir lama dan pihak ahli waris terlibat adu mulut dan kekerasan fisik.
"Saat akan iqomah Salat Magrib, tiba-tiba datang banyak massa kemudian terjadi keributan kembali dan disusul lampu masjid ada yang sengaja mematikan. Ilham, salah satu rekan kami yang hendak melakukan aksi bela Palestina di Surabaya dijatuhkan. Kemudian dikeroyok di dalam masjid. Salah satu pelakunya yakni MHR," jelas Arman.
Kemudian MHR juga membawa Ustaz Andi ke serambi masjid dan dikeroyok. Ustaz Idrus yang berusaha menolong Ustaz Andi justru turut terjatuh bersama-sama MHR dan ikut dianiaya. Peristiwa ini berhenti setelah aparat datang dan segera melakukan pengamanan. Rahmat mengatakan pihak keluarga ahli waris telah melakukan 3 laporan resmi ke Polres Kediri Kota dan berencana mengajukan satu laporan tambahan.
"Kami telah menempuh jalur hukum. Total sudah 3 laporan, pertama korbannya Luqman Hakim, kedua korban atas nama Ilham dan ketiga korbannya adalah ustaz Idrus. Keempat yakni korbannya ustaz Andi," pungkas kata Arman.
Sebelumnya, diberitakan bahwa terjadi keributan di Masjid Al Muttaqun Kelurahan Manisrenggo, Kota Kediri, yang dipicu masalah internal antara warga setempat dengan ahli waris masjid wakaf yang sekaligus menjadi takmir di masjid itu. Masalahnya karena ada pihak yang menyerobot jadwal imam Salat Maghrib berjemaah.
Peristiwa itu bermula ketika sejumlah keluarga ahli waris tanah wakaf masjid itu memaksakan diri menjadi imam Salat Maghrib. Padahal sesuai kesepakatan bersama warga, imam saat Salat Maghrib adalah jatah untuk warga sekitar.
Seorang warga yang mencoba menjelaskan itu justru mendapatkan penganiayaan. Mashuri, salah satu jemaah yang melihat penganiayaan itu bermaksud melerai. Namun dirinya juga menjadi sasaran penganiayaan.
"Saat itu saya melihat ada jemaah yang dianiaya oleh pihak ahli waris. Saya berusaha melerai justru saya dianiaya beberapa orang yang tidak saya kenal dan berada di kubu ahli waris. Usai kejadian saya melaporkan ini ke pihak kepolisian," Kata Mashuri kepada wartawan, Jumat (15/12/2023).
Akibat peristiwa itu ada 3 orang warga yang mengalami luka. Hal ini memicu ratusan warga mendatangi rumah keluarga ahli waris. Mereka meminta pertanggungjawaban atas kekerasan itu.
Puluhan petugas Polres Kediri Kota yang diterjunkan ke lokasi untuk menindaklanjuti laporan yang masuk berupaya mengantisipasi terjadinya keributan yang lebih besar dengan melakukan pengamanan di sekitar masjid dan rumah keluarga ahli waris.
Luqman, perwakilan dari pihak ahli waris masjid wakaf itu mengklaim bahwa dirinya juga menjadi korban penganiayaan. Saat itu dirinya hendak maju menjadi Imam Salat Maghrib. Tiba-tiba ia ditarik dari belakang oleh jemaah hingga dirinya terjatuh lalu dipukuli.
"Saat itu saya maju untuk menjadi Imam Salat Maghrib, tiba-tiba ada beberapa jamaah yang menarik dari belakang dan mendorong saya hingga keluar masjid. Saat di luar masjid saya terjatuh, saya menduga karena ada yang menjegal kemudian saya ditendang di bagian dada dan punggung," kata Luqman.
Mengenai perselisihan antara warga dengan ahli waris masjid wakaf itu, Saifudin menjelaskan bahwa beberapa tahun lalu masjid Al Muttaqun itu berdiri di tanah yang diwakafkan oleh keluarga Arman.
Seiring waktu berjalan, sengketa terjadi antara keluarga ahli waris dengan warga setempat hingga berujung ke perkara perdata di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Warga mengaku, sesuai kesepakatan saat itu, kepengurusan takmir masjid dikosongkan selama proses gugatan belum keluar keputusan. Tetapi pihak ahli waris bersikukuh membentuk kepengurusan internal sehingga warga kecewa dan tidak menghendaki mereka jadi imam di masjid itu," kata Saifudin.
Sebagai informasi, sengketa antara pihak ahli waris dengan warga sekitar itu terjadi saat pengurus masjid meninggal. Pihak ahli waris mengklaim pihaknya yang harus menjadi pengurus Masjid, sedangkan tokoh warga menyerahkan penyelesaian sengketa itu ke Badan Wakaf Indonesia (BWI).
(dpe/iwd)