Teks esai menjadi salah satu materi pembelajaran Bahasa Indonesia kelas 12 SMA dalam Kurikulum Merdeka. Berikut ini struktur, ciri-ciri hingga contoh teks esai.
Teks esai merupakan karangan prosa yang membahas suatu permasalahan secara singkat, kemudian memuat sudut pandang pribadi penulisnya terhadap suatu objek atau peristiwa. Lantas, seperti apa teks esai yang baik dan benar?
Mengutip buku Modul Pembelajaran SMA Bahasa Indonesia, teks esai biasa disebut juga sebagai artikel, tulisan atau komposisi dapat berupa formal atau informal, yang secara umum berisi pendapat atau argumen penulis mengenai suatu topik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan isinya, esai dibedakan menjadi 6 jenis. Ada esai deskriptif, esai tajuk, esai cukilan watak, esai pribadi, esai reflektif, dan esai kritik.
Struktur Teks Esai:
1. Pendahuluan
Pendahuluan yaitu struktur awal pembangun kerangka dari esai, berisi ungkapan secara singkat mengenai topik atau tema yang akan dibahas pada keseluruhan esai.
2. Bagian isi
Bagian isi yaitu bagian inti dari struktur pembangun esai, berisi penjabaran secara terperinci mengenai topik atau tema yang sudah dibahas sebelumnya berdasarkan sudut pandang penulis.
3. Penutup
Penutup yaitu bagian terakhir dalam struktur pembangun sebuah esai, yang berisi kesimpulan dari keseluruhan esai.
Ciri-ciri Teks Esai:
- Berbentuk prosa.
- Disusun secara singkat.
- Memiliki gaya khas yang membedakan dengan gaya penulis lain.
- Tidak utuh. Arinya, penulis hanya menuliskan beberapa poin yang dianggap lebih penting dan menarik mengenai topik atau tema yang akan dibahas.
- Memenuhi syarat-syarat penulisan, mulai dari pendahuluan, pengembangan hingga pengakhiran.
- Sifatnya individu karena mengungkap pandangan, sikap, dan pikiran pribadi penulis itu sendiri kepada pembaca.
![]() |
Kaidah Kebahasaan dalam Teks Esai:
- Menggunakan struktur kata maupun kalimat sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku. Begitu pula dengan pemilihan kata atau istilah dan penulisan sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
- Menggunakan ide atau pesan yang dapat diterima oleh akal.
- Menggunakan ide dan gagasan sesuai dengan kebutuhan, pemakaian kata seperlunya, tidak berlebihan, akan tetapi isinya jelas.
- Menyusun ide secara teratur sesuai dengan urutan, baik dalam kalimat maupun paragraf.
- Menggunakan kalimat denotatif.
Contoh Teks Esai:
Gerr
Oleh: Gunawan Muhammad
Di depan kita pentas yang berkecamuk. Juga satu suku kata yang meledak: "Grrr", "Dor", "Blong", "Los". Atau dua suku kata yang mengejutkan dan membingungkan: "Aduh", "Anu". Di depan kita: panggung Teater Mandiri.
Teater Mandiri pekan ini berumur 40 tahun-sebuah riwayat yang tak mudah, seperti hampir semua grup teater di Indonesia. Ia bagian dari sejarah Indonesia yang sebenarnya penting sebagai bagian dari cerita pembangunan "bangun" dalam arti jiwa yang tak lelap tertidur. Putu Wijaya, pendiri dan tiang utama teater ini, melihat peran pembangunan ini sebagai "teror"- dengan cara yang sederhana. Putu tak berseru, tak berpesan. Ia punya pendekatan tersendiri kepada kata.
Pada Putu Wijaya, kata adalah benda. Kata adalah materi yang punya volume di sebuah ruang, sebuah kombinasi bunyi dan imaji, sesuatu yang ~sik yang menggebrak persepsi kita. Ia tak mengklaim satu makna. Ia tak berarti: tak punya isi kognitif atau tak punya manfaat yang
besar.
Ini terutama hadir dalam teaternya-yang membuat Teater Mandiri akan dikenang sebagai contoh terbaik teater sebagai peristiwa, di mana sosok dan benda yang tak berarti dihadirkan. Mungkin sosok itu (umumnya tak bernama) si sakit yang tak jelas sakitnya. Mungkin benda itu sekaleng kecil balsem. Atau selimut-hal-hal yang dalam kisah-kisah besar dianggap sepele. Dalam teater Putu Wijaya, justru itu bisa jadi fokus.
Bagi saya, teater ini adalah "teater miskin" dalam pengertian yang berbeda dengan rumusan Jerzy Grotowski. Bukan karena ia hanya bercerita tentang kalangan miskin. Putu Wijaya tak tertarik untuk berbicara tentang lapisan-lapisan sosial. Teater Mandiri adalah "teater miskin" karena ia, sebagaimana yang kemudian dijadikan semboyan kreatif Putu Wijaya, "bertolak dari yang ada".
Saya ingat bagaimana pada tahun 1971, Putu Wijaya memulainya. Ia bekerja sebagai salah satu redaktur majalah Tempo, yang berkantor di sebuah gedung tua bertingkat dua dengan lantai yang goyang di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Siang hari ia akan bertugas sebagai wartawan. Malam hari, ketika kantor sepi, ia akan menggunakan ruangan yang terbatas dan sudah aus itu untuk latihan teater. Dan ia akan mengajak siapa saja: seorang tukang kayu muda yang di waktu siang memperbaiki bangunan kantor, seorang gelandangan tua yang tiap malam istirahat di pojok jalan itu, seorang calon fotograf yang gagap. Ia tak menuntut mereka untuk berakting dan mengucapkan dialog yang cakap. Ia membuat mereka jadi bagian teater sebagai peristiwa, bukan hanya cerita.
Dari sini memang kemudian berkembang gaya Putu Wijaya: sebuah teater yang dibangun dari dialektik antara "peristiwa" dan "cerita", antara kehadiran aktor dan orang-orang yang hanya bagian komposisi panggung, antara kata sebagai alat komunikasi dan kata sebagai benda tersendiri. Juga teater yang hidup dari tarik-menarik antara patos dan humor, antara suasana yang terbangun utuh dan disintegrasi yang segera mengubah keutuhan itu. Orang memang bisa ragu, apa sebenarnya yang dibangun (dan dibangunkan) oleh teater Putu Wijaya. Keraguan ini bisa dimengerti. Indonesia didirikan dan diatur oleh sebuah lapisan elite yang berpandangan bahwa yang dibangun haruslah sebuah "bangunan", sebuah tata, bahkan tata yang permanen. Elite itu juga menganggap bahwa kebangunan adalah kebangkitan dari ketidaksadaran. Ketika Putu Wijaya memilih kata "teror" dalam hubungan dengan karya kreatifnya, bagi saya ia menampik pandangan seperti itu. Pentasnya menunjukkan bahwa pada tiap tata selalu tersembunyi chaos, dan pada tiap ucapan yang transparan selalu tersembunyi ketidaksadaran.
Sartre pernah mengatakan, salah satu motif menciptakan seni adalah "memperkenalkan tata di mana ia semula tak ada, memasangkan kesatuan pikiran dalam keragaman hal-ihwal". Saya kira ia salah. Ia mungkin berpikir tentang keindahan dalam pengertian klasik, di mana tata amat penting. Bagi saya Teater Mandiri justru menunjukkan bahwa di sebuah negeri di mana tradisi dan antitradisi berbenturan (tapi juga sering berkelindan), bukan pengertian klasik itu yang berlaku.
Pernah pula Sartre mengatakan, seraya meremehkan puisi, bahwa "kata adalah aksi". Prosa, menurut Sartre, "terlibat" dalam pembebasan manusia karena memakai kata sebagai alat mengomunikasikan ide, sedangkan puisi tidak. Namun, di sini pun Sartre salah. Ia tak melihat, prosa dan puisi bisa bertaut-dan itu bertaut dengan hidup dalam teater Putu Wijaya. Puisi dalam teater ini muncul ketika keharusan berkomunikasi dipatahkan. Sebagaimana dalam puisi, dalam sajak Chairil Anwar apalagi dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri, yang hadir dalam pentas Teater Mandiri adalah imaji-imaji, bayangan dan bunyi, bukan pesan, apalagi khotbah. Hal ini penting, di zaman ketika komunikasi hanya dibangun oleh pesan verbal yang itu-itu saja, yang tak lagi akrab dengan diri, hanya hasil kesepakatan orang lain yang kian asing.
Sartre kemudian menyadari ia salah. Sejak 1960-an, ia mengakui bahwa bahasa bukan alat yang siap. Bahasa tak bisa mengungkapkan apa yang ada di bawah sadar, tak bisa mengartikulasikan hidup yang dijalani, le vecu. Ia tentu belum pernah menyaksikan pentas Teater Mandiri, tapi ia pasti melihat bahwa pelbagai ekspresi teater dan kesusastraan punya daya "teror" ketika, seperti Teater Mandiri, menunjukkan hal-hal yang tak terkomunikasikan dalam hidup. Sebab yang tak terkatakan juga bagian dari "yang ada". Dari sana kreativitas yang sejati bertolak.
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sun/fat)