Warga Blitar Trioko Andrianto yang hendak memperbaiki hidup dengan menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Jepang mengaku diperas oleh Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) ilegal. LPK bernama Itachi Gakkou itu diduga memerasnya Rp 50 juta.
Pagi ini Trioko datang ke Kantor Disnaker Pemkab Blitar di Jalan Imam Bonjol didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Migrant Care. Warga Dusun Tenggong, Desa Tangkil Kecamatan Wlingi itu mengadukan pemerasan yang dia alami.
Korban sebelumnya pernah bekerja di Brunei pada 2018-2022 di sektor peternakan. Pada Februari 2023, Trio menanyakan lowongan kerja di Jepang kepada seorang temannya warga Desa Bambang, Siraman yang bekerja di Jepang. Saat itu dijawab belum ada lowongan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Maret 2023 temannya memberitahu ada lowongan tukang las tapi harus bisa berbahasa Jepang. Sang teman menyarankan Trio mengikuti pelatihan Bahasa Jepang sekaligus ketrampilan las di LPK Itachi Gakkou milik kakaknya sendiri di Dusun Selopuro, RT 2, RW 4, Kecamatan Selopuro.
"Saya ikut pelatihan bahasa Jepang sejak Maret sampai Juni itu sudah bayar Rp 2,4 juta. Kemudian ikut pelatihan las dan bayar biaya pemberangkatan ke Jepang itu Rp 32 juta," tutur Trio kepada detikJatim, Kamis (2/11/2023).
Beberapa dokumen kemudian diminta LPK untuk mengurus kontrak kerja. Beberapa di antara dokumen itu, menurut Trio, sengaja dipalsukan agar memenuhi persyaratan yang dicantumkan untuk lolos seleksi berangkat ke Jepang.
Salah satunya masa berlaku KTP yang semula sampai 2017 diubah menjadi seumur hidup tanpa laporan ke Dukcapil setempat. Kemudian Certificate of Employment (Palsu) yang dituliskan bahwa korban bekerja di PT Sumber Aji Langgeng Santoso sejak 2016-Juni 2022, padahal korban bekerja di Brunei.
Upaya Trio agar bisa berangkat bekerja ke Jepang tak berhenti di situ. Dia menambah pengetahuan tentang skema bekerja di Jepang melalui internet. Dari beragam informasi yang didapat, ternyata bekerja di Jepang harus punya skill yang bagus. Kalau skill dinilai kurang, pekerja di Jepang berpotensi di-PHK.
Nyali Trio mulai ciut. Apalagi dia tidak pernah menandatangani dokumen apapun setelah menyerahkan uang Rp 34,4 juta kepada pengelola LPK Itachi Gakkou. Hingga pada Agustus 2023 Trio memberitahu pihak LPK dia berniat membatalkan keberangkatan ke Jepang.
"Tapi sama LPK tidak ditanggapi. Malah katanya kontrak kerja saya sudah keluar. Kalau batal berangkat harus bayar denda Rp 50 juta. Padahal kontrak kerja itu saya nggak pernah melihat apalagi tanda tangan. Saya keberatan dan merasa diperas kalau caranya seperti ini," tambahnya.
Karena menemui jalan buntu, Trio menghubungi Migrant Care dan dia didampingi mengadukan masalah ini ke Disnaker Pemkab Blitar. Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Nurharsono mengatakan ada indikasi pemerasan sekaligus penipuan yang dilakukan LPK yang diduga ilegal itu.
"Saya sudah ngecek di dinas pendidikan yang mengeluarkan izin lembaga pendidikan, ternyata tidak ada nama lembaga itu. Kemudian di Disnaker, nama lembaga itu juga tidak ada izinnya. Menurut Disnaker, jangankan memberangkatkan PMI, memberikan pelatihan atau pendidikan skil juga tidak boleh. Ini termasuk kategori penempatan PMI un-prosedural," ungkap Nur.
Nur menambahkan selain penempatan PMI ilegal yang melanggar UU no 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang dilakukan LPK ilegal itu juga masuk pelanggaran pidana penipuan. Migrant Care bersama Disnaker akan melakukan sidak dan memediasi korban agar haknya terlindungi.
"Tapi kalau upaya ini tidak bisa mengembalikan uang korban, ya kami akan menempuh jalur hukum. Karena ini sudah masuk pasal penipuan. Dan tidak menutup kemungkinan korbannya tidak hanya satu ini saja," tandasnya.
Upaya verifikasi telah dilakukan detikJatim dengan menghubungi pengelola LPK Itachi Gakkou. Tapi hingga berita ini diturunkan pihak LPK sama sekali tidak merespons.
Sementara Kadisnaker Pemkab Blitar Tavip Wiyono mengaku masih bersama DPRD Pemkab Blitar. Dia mengaku belum menerima berkas aduan itu sehingga belum bisa memberikan tanggapan.
"Ini masih di dewan. Belum masuk laporannya ke meja saya. Nanti saya tanyakan rekan-rekan dulu," jawab Tavip melalui aplikasi pesan.
(dpe/iwd)