Sunan Kalijaga merupakan putra Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban. Ia dikenal sebagai tokoh Wali Songo yang berdakwah Islam dengan kesenian dan kebudayaan.
Sunan Kalijaga dikenal sebagai juru dakwah yang tidak saja piawai mendalang. Melainkan juga sosok pencipta bentuk-bentuk wayang dan lakon-lakon carangan, yang digabungkan dengan ajaran Islam.
Melalui pertunjukkan wayang, Sunan Kalijaga mengajarkan tasawuf kepada masyarakat Tuban. Bahkan, ia disebut sebagai tokoh keramat oleh masyarakat dan dianggap sebagai wali yang berperan melindungi Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sunan Kalijaga:
1. Asal-Usul dan Nasab Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga bernama Raden Sahid. Ia juga dikenal dengan sejumlah nama lainnya, yakni Syaikh Melaya, Lokajaya, Raden Abdurrahman, Pangeran Tuban, dan Ki Dalang Sida Brangti.
Nama-nama tersebut berkaitan erat dengan sejarah perjalanan hidupnya. Dari sejak bernama Sahid, Lokajaya hingga bergelar Sunan Kalijaga.
Babad Tuban menyebutkan kakek Sunan Kalijaga bernama Aria Teja atau Abdurrahman. Ia adalah keturunan Arab yang berjasa dalam memperkenalkan Islam kepada Aria Dikara, Adipati Tuban.
Abdurrahman menikahi putri dari Aria Dikara. Setelah itu ia menggantikan jabatan Aria Dikaria sebagai Bupati Tuban dan menggunakan nama Aria Teja.
Aria Teja dikarunia putra bernama Aria Wilaktikta. Sebelumnya, ia telah menikah dengan Aria Lembu Sura dan dikaruniai seorang putri bernama Nyai Ageng Manila yang kelak dinikahi oleh Sunan Ampel.
Baca juga: Biografi Sunan Ampel dan Asal-usul Namanya |
Berdasarkan buku Le Hadramaut et les Colonies Arabes dans I'Archipel Indien karya C.L.N. Van Den Berg (1886), Sunan Kalijaga adalah orang Arab dengan garis keturunan dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu, menurut garis keturunan lainnya dari keluarga R.M. Mohammad Sooedioko, Sunan Kalijaga merupakan keturunan Bupati Tuban bernama Rangga Tejalaku, sedangkan Abdurrahman adalah kakek dari kakek Sunan Kalijaga.
Nama dan gelar yang didapatkan Sunan Kalijaga antara lain Raden Sahid, Lokajaya, Syaikh Melaya, Raden Abdurrahman, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung, dan Ki Unehan.
2. Pendidikan dan Pengembangan Keilmuan Sunan Kalijaga
Di masa kecil, Raden Sahid dikenal sebagai anak dengan kepribadian nakal yang suka melakukan tindakan tercela. Seperti berjudi, meminum minuman keras, mencuri, sampai diusir oleh orang tuanya. Bahkan ia merampok dan membuat kerusuhan di Hutan Jatisari.
Raden Shaid yang saat itu disebut dengan nama Lokajaya berupaya mengubah sikapnya menjadi lebih mulia, ketika melihat Sunan Bonang menunjukkan kesaktiannya mengubah buah aren menjadi emas.
Gelar Lokajaya yang berarti penguasa wilayah, sangat relevan dengan Kalijaga. Kalijaga yaitu nama salah satu dari tiga ksetra utama di pesisir utara Jawa, yakni Kalitangi (Gresik), Kaliwungu (Kendal, dan Kalijaga (Cirebon)
Ketiga-tiganya bermakna Dewi Kali (Sang Bumi) Bangun. Penamaan itu dikaitkan dengan perjalanan Sunan Kalijaga, ketika mengikuti Syaikh Siti Jenar ke beberapa tempat di Jawa dalam rangka membuat 'tawar' kekuatan ksetra-ksetra angker, yang menjadi tempat upacara para pemuja Dewi Kali Sang Bumi.
Selain kedua nama itu, Sunan Kalijaga juga dikenal dengan nama Syaikh Melaya karena ia adalah putra dari Tumenggung Melayakusuma di Jepara. Tumenggung Melayakusuma sendiri merupakan orang asing dari Negeri Atas Angin yang berasal dari Jawa, dan dilantik menjadi Bupati Tuban oleh Sri Prabu Brawijaya dengan nama Wilatikta.
Penggunaan nama-nama Sunan Kalijaga dengan simbol-simbol bhairawa-tantrisme, berhubungan dengan Sunan Bonang sebagai guru rohaninya yang ketika menyampaikan dakwah di Kediri, dihalangi oleh tokoh-tokoh pemuka Bhairawa-Tantra.
Sesampainya di Pulau Pinang, Sunan Kalijaga bertemu dengan Maulana Maghribi yang memintanya kembali ke Jawa dan dapat mengembangkan dakwah Islam di beberapa masjid. Dikarenakan hidup di lingkungan keluarga Jawa, Sunan Kalijaga pun mempelajari kesenian dan kebudayaan Jawa.
3. Gerakan Dakwah Sunan Kalijaga
Babad Demak menyebutkan Raden Sahid mengawali dakwahnya di Cirebon, tepatnya di Desa Kalijaga untuk mengenalkan Islam kepada penduduk Indramayu dan Pamanukan. Cukup lama berdakwah, Raden Sahid melakukan laku ruhani dengan melakukan uzlah di Pulau Upih selama tiga bulan lebih sepuluh hari. Ia pun diangkat menjadi wali dengan gelar Sunan Kalijaga.
Babad Cirebon mengungkapkan bahwa Sunan Kalijaga menetap selama beberapa tahun di Desa Kalijaga, dengan menyamar sebagai pembersih Masjid Sang Cipta Rasa, sampai akhirnya bertemu dengan Sunan Gunung Jati dan dinikahkan dengan adiknya yang bernama Siti Zaenab.
Istrinya dikenal sebagai penganut Tarekat Akmaliyah. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai anak kembar bernama Watiswara atau Sunan Panggung dan Watiswari, serta seorang putri bernama Champaka.
Untuk menyembunyikan ketakwaannya, Sunan Kalijaga sengaja memperlihatkan tindakan yang seakan-akan maksiat. Seperti tokoh wali lainnya, Sunan Kalijaga memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat melalui pertunjukan kesenian wayang.
Ia juga sering memakai nama samaran, seperti Ki Dalang Sida Brangti di daerah Pajajaran, Ki Dalang Bengkok di daerah Tegal, Ki Dalang Kumendung di Purbalingga, dan Ki Unehan di Majapahit.
Kegiatan dakwah tersebut disampaikan melalui pertunjukan tari topeng, barongan dan wayang dengan cara mengelilingi beberapa tempat.
Sejak saat itu, Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh Wali Songo yang berperan dalam proses pengembangan kesenian dan kebudayaan Nusantara, dengan mereformasi wayang dari bentuk sederhana berupa gambar mirip manusia di kertas, iringan gamelan, tembang, dan suluknya sampai menjadi bentuk yang sekarang.
Salah satu tembang gubahannya berjudul Kidung Rumeksa Ing Wengi, yang disampaikan dalam langgam dandhanggula dan banyak dikenal oleh masyarakat Jawa.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syathariyah dari Sunan Bonang dan tarekat Akmaliyah dari Syaikh Siti Jenar. Baik secara tertutup (sirri) yang diberikan kepada murid-murid ruhaninya, maupun terbuka melalui pagelaran wayang.
Kisah kekeramatan Sunan Kalijaga tersebar di berbagai hostoriografi maupun kisah tutur masyarakat Jawa. Bahkan, digambarkan Sunan Kalijaga mewarisi kekeramatannya pada putranya Sunan Panggung.
Sunan Panggung berubah menjadi ekstrem yang akhirnya dihukum mati dengan cara dibakar karena tindakannya yang sudah merusak syara, sembrono, dan menodai agama, serta kesucian masjid. Namun berkat kekeramatannya, Pangeran Panggung tidak mati di tengah kobaran api.
4. Wafatnya Sunan Kalijaga
Tidak ada satupun sumber sejarah yang menyebutkan kapan Sunan Kalijaga wafat. Kecuali tempat wali ini disemayamkan di Kadilangu dekat Demak.
Sunan Kalijaga digambarkan sebagai wali berusia lanjut. Ia kerap disebut sebagai pelindung Kerajaan Mataram.
Keberadaannya pun dijadikan sebagai panutan oleh masyarakat Muslim tradisional yang memuliakan makamnya, dan warisan nilai-nilai seni budaya serta ajaran ruhani (tarekat) yang ditinggalkannya.
Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(sun/iwd)