KLHK Beber Sejumlah Hal yang Perlu Diperhatikan Usai Kebakaran Gunung Bromo

KLHK Beber Sejumlah Hal yang Perlu Diperhatikan Usai Kebakaran Gunung Bromo

Muhajir Arifin - detikJatim
Minggu, 17 Sep 2023 09:30 WIB
Penampakan Bukit Teletubbies Gunung Bromo pascakebakaran
Penampakan Bukit Teletubbies Gunung Bromo pascakebakaran (Foto: Muhajir Arifin/detikJatim)
Pasuruan -

Selain El Nino, kebakaran kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) disinyalir diperparah oleh banyaknya tumpukan biomassa di kawasan itu. Biomassa sendiri merupakan bahan organik yang dihasilkan tanaman-tanaman yang mengandung sumber energi besar.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian LHK, Satyawan Pudyatmoko menyebut, tumpukan biomassa di kawasan TNBTS terjadi akibat siklus iklim. Dalam tiga tahun terakhir, iklim wilayah Indonesia cenderung basah karena efek fenomena alam La Nina.

La Nina menyebabkan suhu muka laut di Samudera Pasifik lebih dingin dibanding kondisi normal hingga meningkatkan curah hujan. Tingginya curah hujan, memunculkan banyak tanaman semak belukar yang tumbuh subur, termasuk di kawasan TNBTS

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"2020 sampai 2022, Indonesia kan cenderung basah, jadi terjadi tumpukan biomassa di TNBTS ini," ujar Satyawan, Minggu (17/9/2023).

Tumpukan biomassa ini jika tidak dikendalikan, katanya, justru bisa berbahaya. Meskipun bersifat organik, biomassa menyimpan energi bahan bakar yang besar.

ADVERTISEMENT

"Belum lagi, di tahun ini, Indonesia mengalami musim kemarau panjang akibat dampak fenomena El Nino. Ketika El Nino musim panas seperti ini, tumpukan bahan bakarnya (biomassa) justru sudah banyak," ungkapnya.

Oleh karenanya, KLHK tengah melakukan riset guna mengurangi tumpukan biomassa di kawasan TNBTS maupun daerah konservasi lain. Salah satunya dengan menerapkan pembakaran terkendali terhadap tanaman atau prescribed burning.

Penampakan Bukit Teletubbies Gunung Bromo pascakebakaranPenampakan Bukit Teletubbies Gunung Bromo pascakebakaran Foto: Muhajir Arifin/detikJatim

"Secara berkala, tanaman hingga semak-semak di kawasan TNBTS akan 'dipangkas' dengan cara dibakar. Untuk membuat prescribe burning tentu tidak asal-asalan, kita perlu skill, tentunya petugasnya ada pelatihan, sertifikat, sampai alat-alatnya harus lengkap," bebernya.

Selain itu, dampak ekologis setelah kebakaran juga perlu diwaspadai. Satyawan mengatakan, kebakaran menghanguskan semak belukar dan sejumlah tanaman endemik. Seperti akasia dekuren sampai kemlandingan gunung.

"Dari Jemplang sampai di Cemorolawang, ada banyak semak belukar terbakar, potensi kebakaran tinggi karena ciri khas dari vegetasi pegunungan tidak bisa lebat," kata Satyawan.

Semak belukar dan beragam tanaman endemik itu merupakan habitat tempat satwa-satwa liar. Seperti seperti burung alap-alap, burung prenjak hingga kancil.

"Syukurnya masih ada spot yang tidak terbakar dan jadi tempat berlindung satwa, kalau kita nyebutnya refugee," ujarnya.

Selain menjadi habitat satwa liar, fungsi penting vegetasi kawasan TNBTS menjaga kesuburan dan kepadatan tanah. Satyawan mengkhawatirkan saat memasuki musim penghujan potensi erosi akan meningkat.

"Kerugian kalau semak belukarnya habis, potensi erosi ketika hujan deras bisa lebih tinggi," ungkapnya.

Perubahan ekosistem juga berpotensi terjadi pascakebakaran. Satyawan mencontohkan pascaerupsi Merapi 2010, terjadi perubahan ekosistem, tanaman akasia dekuren mendominasi vegetasi yang ada di Merapi.

"Perubahan ekosistem ini lah yang harus terus dipantau oleh KLHK bersama TNBTS, mengingat kawasan Bromo juga ditumbuhi oleh pepohonan akasia dekuren. Mudah-mudahan perubahan ekosisten tidak terlalu besar, karena bisa mempengaruhi daya tarik Bromo, menjadi turun," pungkasnya.




(hil/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads