Partai Golkar dan PAN serta PKB resmi deklarasi mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden 2024. Pengamat politik menyebut gemuknya koalisi tersebut tak menjamin kemenangan pada Pilpres 2024.
Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdus Salam mengatakan koalisi tersebut sebaliknya bisa menjadi bumerang bagi Prabowo Subianto. Ini karena seolah-olah Ganjar Pranowo yang diusung PDIP seperti dikeroyok.
Kondisi ini disebut mirip dengan kondisi Pilpres 2014 silam. Dimana saat itu Jokowi yang jadi capres juga dikeroyok banyak partai yang mendukung Prabowo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PDI Perjuangan akan kian mendapat simpati publik, jika terkesan dikeroyok dan sharing kekuatan yang vulgar dari pendukung Pak Prabowo. Kondisi ini harus betul dimanfaatkan PDI Perjuangan," ujar peneliti senior Surabaya Survei Center (SSC) itu,Selasa (15/8/2023).
Menurut Surokim, pertumbuhan pemilih rasional Indonesia kian signifikan dan hal itu merubah perilaku memilih secara drastis dalam pemilu ke depan. Perubahan itu kian mengukuhkan bahwa logika elit dan kekuasaan harus selalu berselaras dengan logika publik. Intinya partai partai harus pintar menjaga perasaan publik agar senantiasa satu frekuensi.
"Kian vulgar akomodasi kepentingan partai-partai berbagi kekuasaan tanpa bisa menjelaskan secara memadai kepada publik, maka potensial akan selalu menjadi tanda tanya publik. Hal itu akan mempengaruhi citra koalisi sebagai tempat mencari aman dan perlindungan," ungkapnya.
Apalagi, lanjut Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan UTM ini, dalam pemilu langsung sering tidak linier antara logika partai dan logika voters. Jadi menjadi tugas berat sesungguhnya untuk menjaga logika publik terkait bagi-bagi kekuasaan tersebut.
Surokim mengatakan sejauh ini jika mencermati PDI Perjuangan nampak sangat berhati-hati dan terlihat tidak agresif dalam membangun koalisi. Sehingga kemungkinan akan menjadi koalisi ramping dan tentu akan berhadapan dengan koalisi lain yang kemungkinan akan lebih gemuk.
Di pilkada sejauh ini, kata Surokim, memang juga belum ada jaminan bahwa koalisi gemuk akan lebih mudah memenangkan kontestasi bahkan sering yang ramping bisa menang. Karena sesungguhnya koalisi itu tugas utamanya mengantarkan saja pada kandidat pencapresan, selebihnya itu akan menjadi daulat publik voters Indonesia yang menentukan. Apalagi sejauh ini kontribusi pemilih loyal juga sangat gradatif diantara 5% hingga 30% pemilih loyal dan tidak selalu linier dengan voters.
"Di sinilah pentingnya menjaga perasaan voters Indonesia, dan bagi koalisi gemuk tentu tidak boleh jemawa. PDIP tidak boleh berkecil hati sepanjang bisa membangun frekuensi yg linier dengan voters tentu masih akan kompetitif. Koalisi yang sesungguhnya adalah koalisi bersama rakyat pemilih Indonesia," tandas Surokim.
(abq/iwd)