PBNU menggelar sosialisasi ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference 2023 di Hotel Shangri-La, Surabaya. Acara ini dihadiri sejumlah kalangan, termasuk tokoh agama di Jawa Timur dan Indonesia Timur.
Dalam paparannya, Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya berbicara soal sejarah Indonesia yang dulu bernama Nusantara. Dulu Nusantara pernah memberikan sumbangsih mengagumkan lewat nilai toleransi dan harmoni yang ditawarkan oleh sejumlah kerajaan. Hal itu bisa bertahan dalam waktu yang sangat lama.
"Kerajaan Sriwijaya bisa bertahan hingga 7 abad lamanya dan mempersatukan seluruh Nusantara dalam jaringan perdagangan dengan tetap menoleransi perbedaan politik," kata Gus Yahya, Kamis (15/6/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gus Yahya menyebut Kerajaan Sriwijaya tercatat pernah mempersatukan Nusantara di dalam satu jaringan perdagangan internasional dengan tetap mempertahankan format-format politik di pulau-pulau yang ada di Nusantara ini.
"Jadi in land politik dibiarkan independen, tapi jaringan perdagangan internasionalnya yang dikonsolidasikan, sehingga menjadi kekuatan ekonomi politik yang sangat signifikan pada waktu itu," jelasnya.
Kerajaan Sriwijaya, lanjut Gus Yahya, bersendi ajaran dan nilai filosofis Budha dan berada di Sumatera Selatan. Kerajaan ini bertahan selama kurang lebih tujuh abad, mulai abad ke-7 hingga 14 masehi.
Menurut Gus Yahya, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan besar yang mengandalkan kekuatan maritim yang hegemonik di Nusantara. Kedudukannya di tepian Sungai Musi, Palembang sangat strategis dan sangat menentukan.
"Mengapa? Karena Sungai Musi saat itu sangat luas dan dalam, sehingga bisa menjadi pusat deployment besar-besaran. Letaknya di sungai itu membuat kerajaan ini tak mudah diserang musuh," katanya.
"Namun setelah berkuasa selama tujuh abad, kerajaan ini runtuh. Runtuhnya kerajaan dikarenakan pasukan maritimnya melemah sehingga gagal mempertahankan konsolidasi kawasan. Kenapa kekuatan maritimnya melemah? Karena sedimentasi di muara Sungai Musi sehingga kapal besar tak bisa keluar-masuk," ujarnya.
Tak hanya Sriwijaya, lanjut Gus Yahya, sedimentasi itu terjadi pada kerajaan Majapahit yang mengandalkan Sungai Brantas.
"Semua itu runtuh gara-gara sedimentasi sungai," tambahnya.
Lantaran sungai pernah menjadi kekuatan maritim, Gus Yahya mengaku tertarik dengan gagasan pengerukan sedimentasi di sejumlah sungai besar. Pengerukan itu menjadi penting karena sejarah mencatat, sungai-sungai besar itu pernah menjadi kekuatan peradaban di Nusantara.
Gus Yahya mengaku pernah menceritakan gagasannya ini kepada seorang environmentalis atau ahli lingkungan. Namun, sang environmentalis mengaku khawatir jika pengurukan sungai itu akan merusak biota yang ada di dalamnya.
"Lah rusak kalau sungainya dipaculi (dicangkul). Kalau pakai teknologi modern kan nggak rusak," Gus Yahya menjawab sang ahli lingkungan itu.
Gus Yahya menambahkan, bangsa Indonesia lewat kerajaan Majapahit juga pernah mempunyai warisan yang demikian luhur yakni Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Bahwa dengan semboyan ini, Majapahit lebih menghargai perbedaan dan bukan sebagai negara agama.
"Dengan komitmen tersebut, dalam perkembangannya, Kerajaan Majapahit tidak pernah mempersoalkan identitas agama bagi seleksi kepemimpinan. Bahkan tidak sedikit kerajaan di bawahnya terutama di kawasan Jawa yang dipimpin kalangan muslim. Dan, hal tersebut tidak dipersoalkan oleh kerajaan Majapahit," bebernya.
Lantaran adanya warisan luhur itu, Gus Yahya mengajak seluruh tokoh untuk kembali kepada nilai luhur agama yang ada. Dari mulai harmoni, merdeka, damai, hingga keadilan sosial sembari mengutip pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kesempatan itu, Gus Yahya berharap seluruh gagasan luhur yang ada di setiap agama terus digali dan ditawarkan bagi peradaban dunia.
"Semoga nilai-nilai itu akan memberikan kontribusi bagi peradaban mendatang," tukasnya.
(dpe/dte)