Dosen Unair: Penelitian Tuyul-Manusia Kerdil Bisa Jadi Saling Menginspirasi

Dosen Unair: Penelitian Tuyul-Manusia Kerdil Bisa Jadi Saling Menginspirasi

Denza Perdana - detikJatim
Kamis, 11 Mei 2023 08:15 WIB
Manusia mungkin berperan dalam kemusnahan manusia kerdil Flores
Manusia Kerdil di Flores yang dikaitkan dengan folklor tuyul. (Foto: BBC Magazine)
Surabaya -

Tuyul yang pernah diteliti Antropolog AS Clifford Geertz di Mojokuto alias Pare, Kediri telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa. Tapi tidak hanya di Pare, Kediri, tuyul dikenal luas termasuk oleh masyarakat Sunda.

Tapi tuyul tidak dikenal di luar negeri. Justru, orang luar negeri lebih mengenal mitos tentang manusia kerdil yang belakangan diteliti di Flores.

"Kalau kita ngomong konteks Jawa berarti wilayah pulau Jawa secara budaya menunjukkan dia punya ciri, karakter, wujud budaya Jawa. Ya seluas itu orang mengenal tuyul. Sunda juga mengenal tuyul, mungkin menyebar dari orang di Banyumas, Cilacap, sampai Banyuwangi. Aku rasa di sana juga dikenal tuyul, nggak hanya di Kediri saja. Misal ada Banyumas, Using, Mataraman, Arek itu mereka pasti akan mengenal tuyul," ujar Dosen Antropologi Unair Delta Bayu Murti kepada detikJatim, Kamis (11/5/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bayu menjelaskan bahwa dirinya belum pernah menemukan adanya persamaan soal tuyul di luar negeri. Dia pun menyinggung tentang fenomena yang dikenal orang luar negeri tentang sosok seperti tuyul pada mitos manusia kerdil seperti yang ditemukan di Liang Bua, Flores. Antropolog gabungan Australia-Indonesia menamai fosil itu Homo Floriensis dan belakangan ini diyakini bahwa manusia kerdil itu masih hidup di tengah hutan Flores.

"Aku belum menemukan kalau ada persamaan ya yang tuyul di Indonesia. Tapi kebetulan aku suka liat film-film, mereka yang diangkat dari cerita folklor. Kalau di Indonesia, tapi ini nggak bisa terlalu disamakan sih, ada cerita orang pendek itu. Tapi nggak gundul, istilahnya manusia kerdil. Jadi ada yang dicatat antropolog Amerika itu, dia meneliti cerita tentang orang pendek ini dari Sumatera sampai pucuk Flores, sampai akhirnya ketemu Homofloriensis yang ditemukan antropolog Australia," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Bayu mengungkapkan bahwa cerita tentang orang pendek atau manusia kerdil itu banyak tersebar di Indonesia. Di antaranya di Bali, Jawa, Sunda, juga di Kalimantan. Berkaitan dengan tuyul, dia tidak bisa memastikan apakah mitos tentang manusia kerdil itu berkaitan langsung dengan makhluk halus tuyul yang berkembang di Jawa. Namun, kata Bayu, bisa jadi cerita keduanya saling menginspirasi.

"Orang pendek banyak di Bali, Jawa, Sunda, Kalimantan. Tapi itu bukan tuyul. Tuyul itu spesifik, dia hantu. Kalau orang kerdil ini masih belum ada wujudnya, masih mitos dan hanya muncul di cerita itu. Kalau tuyul hanya orang tertentu yang bisa lihat. Satunya alam nyata, satunya alam nggak kelihatan. Ceritanya bisa berkembang bersamaan, orang Jawa sebelum konsep tuyul mungkin menangi (mengetahui) ada orang kerdil tadi, lalu salah satunya menginspirasi yang lain," ujarnya.

Sebelumnya Bayu menyampaikan bahwa secara umum orang Jawa memang percaya dengan hal-hal di luar kehidupan nyata. Termasuk di antaranya tuyul sebagai salah satu makhluk halus yang dipercaya.

"Orang Jawa itu sebenarnya senang hidup damai. Nah, salah satu kedamaian yang diinginkan, salah satunya entitas di luar nyata itu tadi. Gaib, mistis, orang Jawa sudah tahu bahwa kekuatan energi, roh, atau apapun di luar dunia nyata ini ada dan itu juga berpengaruh pada kehidupan nyata mereka," ujarnya.

Untuk itulah, kata Bayu, orang Jawa membuat aktivitas selamatan atau ritual-ritual yang hingga saat ini masih dilakukan, sebenarnya bertujuan untuk menyelaraskan energi-energi di luar kehidupan nyata mereka itu.

"Karena berdasarkan pengalaman mereka, ketika mereka tidak bisa mencapai titik seimbang dengan kehidupan di luar nyata tadi, ya hidup mereka kacau," ujarnya.

Roh, hantu, dan hal-hal gaib lainnya itulah yang termasuk menjadi keseimbangan yang diinginkan orang Jawa. Karena ketika tercapai keseimbangan, dua dunia itu bisa saling memahami dan tidak saling mengganggu.

"Di sisi lain orang Jawa juga melihat bahwa roh-roh hantu atau apapun itu ternyata juga bisa dikompromi atau juga bisa dimintai bantuan, dimintai kerja sama, sampai bahkan di buku ini ditulis dieksploitasi," katanya.




(dpe/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads