Fakultas Pertanian (FP) Universitas Brawijaya (UB) menggelar seminar nasional bertajuk 'Dialog Kedaulatan Pangan Dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045'. Dialog digelar di gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya, Senin (10/4).
Dialog menghadirkan dua guru besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ali Agus, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember (Unej) Soetriono dan CO Founder Strategic Policy Institute, Amin Subekti.
Dekan FP UB, Mangku Purnomo mengatakan kedaulatan pangan ini penting untuk bisa dicapai oleh Indonesia. Tujuannya, supaya Indonesia bisa memimpin ketahanan pangan di negara sendiri dan dunia. Namun, hal itu masih butuh perjuangan yang panjang untuk bisa diraih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya ingat betul Pak Jokowi ketika ke Rusia. Mereka itu 140 juta ton cadangan pangannya. Itu Pak Jokowi yang bilang. Ukraina 46 juta Ton. Sementara kita ini hanya 12 juta ton kira-kira. Dengan penduduk yang dua kali lebih besar daripada Rusia dan Ukraina," kata Purnomo dalam sambutannya.
Purnomo menjelaskan saat ini jumlah penduduk Ukraina berjumlah sekitar 60 juta jiwa. Sementara penduduk total Rusia saat ini sekitar 120 jiwa. Dengan cadangan pangan yang begitu besar, hal ini menjadi modal penting bagi kedua negara tersebut.
"Rusia sekitar punya penduduk 120 juta, jadi satu orang itu punya cadangan beras 1 ton. Perang 10 tahun ya kuat itu. Tapi kalo Indonesia, (cadangan pangannya) 12 juta ton beras, di makan sekitar 270 juta jiwa, ya mungkin 2 hari kita perang sudah kalah karena kelaparan," jelasnya.
Menurut Purnomo seminar nasional tentang kedaulatan pangan ini menjadi materi yang penting untuk terus digelorakan dan direalisasikan. Sehingga kedepan Indonesia bisa berdaulat dalam hal pangan.
"Jadi kira-kira itulah yang kemudian visi kita, moga-moga ini menjadi titik awal yang baik. Kami harap pemateri bisa memberi nuansa kepada kami dan mahasiswa bahwa perubahan itu adalah suatu keharusan dan harus kita songsong secepatnya," tegasnya.
Sementara Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kewirausahaan Mahasiswa UB, Setiawan Noerdajasakti menambahkan kebutuhan konsumsi beras masing-masing warga negara itu berbeda-beda.
Dan Indonesia, merupakan salah satu negara dengan konsumsi beras yang cukup tinggi. Atau sekitar 11 kuintal per tahun, per-orang.
"Pangan, beras misalnya, itu tidak semata-mata untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kita orang Indonesia konsumsi beras itu banyak di berbagai seremoni, ritual tradisional misalnya. Mulai dari pernikahan, syukuran, dan lainya," ujarnya terpisah.
Setiawan mencontohkan, masyarakat Jawa dalam budayanya banyak menyerap hasil pangan. Seperti dalam budaya pernikahan mulai dari siraman sampai resepsi banyak menggunakan beras sebagai salah satu bahan yang dibutuhkan.
"Orang mantu (nikah) misalnya mulai dari kirim doa, siraman, Widodaren, akad nikah, resepsi, sepasaran, itu semua ya ada tumpeng, berkatan, ini beras semua. Pangan yang terserap disitu," terangnya.
Sehingga dengan begitu, lanjut Setiawan, pangan tidak hanya sebatas untuk konsumsi sehari-hari. Tetapi juga banyak yang terserap ke berbagai kegiatan ritual yang ada di masyarakat.
"Oleh karena itu masalah kedaulatan pangan ini perlu dikaji dari banyak sisi, dari kultur juga harus dilakukan pengkajian. Ternyata tidak cukup berdaulat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk bermacam-macam event yang sudah membudaya di masyarakat," pungkasnya.
(abq/fat)