Dinas Kesehatan Tulungagung menemukan 12.384 warga yang suspek Tuberkulosis (TBC), dari jumlah itu 1.332 orang dinyatakan positif TBC. Seluruh pasien mendapatkan pengobatan lanjutan hingga dinyatakan sembuh.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Tulungagung, Didik Eka mengatakan temuan itu diketahui setelah pihaknya melakukan pemeriksaan secara massal di sekolah, pesantren hingga kelompok masyarakat umum. Pemeriksaan tersebut merupakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dijalankan dinas kesehatan dalam upaya pemberantasan TBC.
"Dari 12.384 suspek dilakukan pemeriksaan lanjutan dan hasilnya kami temukan 1.332 warga yang positif TBC. Yang perlu diingat TBC bukan aib, bukan penyakit keturunan. TBC ada obatnya dan bisa disembuhkan," kata Didik Eka, Jumat (23/12/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pasien yang dinyatakan positif TBC lalu menjalani proses lanjutan melalui pengobatan rutin selama enam bulan berturut-turut, hingga pasien dinyatakan negatif. Pengobatan diberikan secara gratis oleh pemerintah.
Didik mengakui pemberantasan TBC sering kali menghadapi sejumlah kendala, salah satunya tingkat ketelatenan pasien dalam menjalani proses pengobatan. Sebab proses pengobatan dan terapi pasien TBC membutuhkan waktu lama dan harus minum obat teratur tanpa putus.
"Biasanya tiga bulan pertama itu pasien sudah mulai membaik, batuknya berkurang, berat badannya meningkat, nafsu makan juga membaik, sesak nafas hilang. Dianggap itu sudah sembuh, padahal bakterinya baru klenger saja. Akhirnya pasien berhenti minum obat" ujarnya.
Kondisi tersebut justru akan membahayakan pasien, sebab jika pengobatan tidak dilakukan secara tuntas maka TBC bisa kembali kambuh. Tak hanya itu, pandangan negatif terhadap pasien TBC juga masih terjadi di masyarakat.
TBC sering kali dianggap aib maupun penyakit keturunan. Akibatnya pasien cenderung menutup diri dan enggan untuk menjalani pengobatan dengan baik.
Menurutnya untuk mempercepat proses pemberantasan TBC di Tulungagung pihaknya menggandeng berbagai kelompok masyarakat termasuk NGO atau LSM. Pendekatan dan pendampingan yang dilakukan pihak swasta dinilai cukup efektif untuk menemukan dan mengawal pasien agar rutin berobat.
"TBC itu Indonesia peringkat kedua dua dunia setelah India. Makanya dibutuhkan kolaborasi agar Indonesia bebas TBC di 2030 nanti," imbuhnya.
Sementara itu Ketua Yayasan Bhanu Yasa Sejahtera (Yabhysa) Cabang Tulungagung, Cut Mala Hayati Anshari, mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Dinas Kesehatan ikut berperan aktif dalam upaya penanggulangan TBC di Tulungagung.
Salah satu konsentrasinya adalah pendampingan para pasien yang mangkir minum obat agar kembali menjalani pengobatan dengan tertib, serta membantu penelusuran kontak erat pasien positif TBC.
"Kami membentuk kader di 32 puskesmas untuk membantu mencari terduga atau suspek TBC. Jika masyarakat tersebut dinyatakan positif sesuai hasil lab, maka kader berkewajiban mendampingi hingga dinyatakan sembuh," kata Cut Mala.
Pascatemuan pasien positif, kader tersebut juga membantu melakukan tracing terhadap 20 kontak erat pasien guna dilakukan proses pemeriksaan. Pihaknya berharap peran serta NGO akan mendukung percepatan penanggulangan TBC di Tulungagung.
(abq/iwd)