Tepat 8 tahun lalu, lokalisasi terbesar di wilayah Asia Tenggara, Dolly ditutup Tri Rismaharini yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Surabaya. Penutupan ini sempat menimbulkan konflik antara warga Dolly dan Pemkot Surabaya. Bahkan, pada 18 Juni 2014 dilakukan deklarasi penolakan penutupan di Gedung Islamic Center.
Setelah lokalisasi Dolly ditutup, banyak warga terdampak yang nasibnya terkatung-katung. Para PSK yang mayoritas warga luar Surabaya dipulangkan ke daerah masing-masing.
Mulai tahun 2017, warga terdampak lokasisasi diberdayakan oleh Pemkot Surabaya. Warga diberi pelatihan hingga difasilitasi untuk usaha dan menjadi tumbuh menjadi UMKM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan, kini banyak UMKM yang didirikan warga terdampak lokalisasi yang sukses. Seperti UMKM Kelompok Usaha Bersama (KUB) Mampu Jaya yang menempati bekas Wisma Barbara di Gang Dolly.
![]() |
Tak Semua yang Ikut Pelatihan UMKM Mampu Bertahan
Ketua Koordinator UMKM KUB Mampu Jaya masyarakat mandiri Putat Jaya, Atik Triningsih (39) mengaku dirinya juga merupakan warga terdampak lokasasi. Ia bersyukur, kini Dolly bisa kembali hidup dengan wajah baru dan perekonomian yang lebih baik untuk warga.
"Sekarang alhamdulillah. Tahun 2014 masih belum bisa berdiri tegak sampai 2017, masih cari style kita, gimana, cocoknya gimana. Nggak bisa buka usaha langsung. Sekarang sudah ada usaha, punya rasa kepemilikan (usaha di bekas wisma Barbara) dan bisa bertahan sampai sekarang," kata Atik kepada detikJatim, Rabu (8/6/2022).
Atik menceritakan, dulunya setelah lokalisasi Dolly ditutup, tahun 2014 diadakan pelatihan usaha yang diikuti sekitar 30 orang. Mereka mengikuti pelatihan hingga membuat produk. Namun butuh mental yang kuat untuk bertahan.
Dari 30 orang yang ikut pelatihan, hingga kini tersisa 3 yang masih bertahan. Diantaranya Atik dan Ida Aryani (51) yang juga warga terdampak lokalisasi. Ketiganya berjuang bersama dan bisa survive.
"Kalau dulu nggak mikirin income, tapi bagaimana cara kita bertahan. Cara kita bertahan, plus dapat keuntungan. Saya dulu ibu rumah tangga biasa," ujarnya.
Di bekas wisma Barbara ini, ada beberapa usaha yang tergabung dalam KUB Mampu Jaya, seperti sepatu, sandal dan slipper hotel. Atik sendiri memiliki usaha membuat slipper hotel, bahkan sudah ada 70 hotel yang bekerja sama dengan UMKM-nya.
"Sebulan mulai sandal sepatu mestinya (omset) Rp 5 hingga Rp 10 juta. Alhamdulillah. Kalau sehari sliper (pesanan) ada 2 hotel, per hotel 1.000 jadi 2.000 pasang slipper. Kadang-kadang kita ngerjain 2 hari dalam berkelompok. 1 kelompok 5-6 hotel untuk sendal hotel. Kelompoknya sendiri-sendiri (sepatu dan slipper) tapi satu pintu," jelasnya.
Atik mengatakan, para perajin dan pekerja di Dolly ialah warga terdampak lokalisasi. Usaha ini difasilitasi oleh pemkot, namun tak sedikit pula peralatan seperti mesin jahit dibeli sendiri dari dukungan modal yang diberikan swasta pendukung UMKM Dolly.
"Pemodalan pemasaran pure kita sendiri. Kita hanya menempati gedung dan alatnya. Saat pandemi nggak ada orderan 3 bulan akhirnya bikin masker, biar tetap produktif. UKM itu harus punya gagasan, kalau stagnan di sini akhirnya nggak berkembang, dan berinovasi bikin masker, celemek. Alhamdulillah perekonomian sekarang baik," ujarnya.
![]() |
Sama halnya dengan Ida Aryani (51) warga Putat Jaya Gang 6 sisi timur. Teman seperjuangan Atik mengembangkan KUB Mampu Jaya ini bersyukur usahanya berjalan lancar sejak tahun 2017. Bahkan, bisa mengangkat perekonomiannya dan masyarakat sekitar.
"Alhamdulillah sudah mencukupi di rumah, warga terdampak lokalisasi diberdayakan. Bekas prostitusi terbesar di sini, Barbara. Tahun 2014 tutup, 2017 kita masuk ke sini. Perlu renovasi dulu, dulu nggak seperti ini. Di sini orang-orang yang terdampak, dibentuk pemerintah UMKM untuk alas kaki. Kita tertarik usaha, jangan sampai tutup. Lumayan untuk bantu uang belanja," kata Ida.
Ida menceritakan, dulunya sempat ada eks PSK yang ikut bergabung UMKM. Namun, kini tersisa warga terdampak saja. Saat ini ada sekitar 28 orang perajin dan pekerja KUB Mampu Jaya.
"Dulu sempat ada ikut pelatihan jahit, bekas mbak-mbak (eks PSK) sini, terus pulang ke desa. Dulu kan mbak-mbak pendatang. Lalu, sejak 2017 saya ikut mengembangkan KUB ini. Saat ditutup (wisma Barbara), warga disekolahkan dulu, diberi pelatihan. Sekarang bertahan 3 orang lama, tapi pelatihan terus ada di atas. Dolly sekarang sudah seperti kampung biasa, nggak seperti dulu ramai. Enak sekarang nggak kayak dulu, bising. Sampai nggak bisa tidur setiap malam," ceritanya.
UMKM Eks Lokalisasi Dolly Coba Bangkit Kembali Usai Terhantam Pandemi
Salah satu warga Putat Jaya 10B, Siti Munbadria (32), mengaku juga terangkat perekonomiannya. Meski terhitung baru 3 bulan bekerja, tetapi ia merasakan dampak baik pada perekonomiannya.
"Setelah pandemi lumayan dari pada pas pandemi. Saya masih 3 bulan kerja di sini (KUB Mampu Jaya). Sebelumnya ibu rumah tangga biasa. Dengan banyaknya UMKM di sini bisa membantu perekonomian warga. Bangkitnya perekonomian setelah 1 hingga 2 tahun lokalisasi Dolly ditutup," ujar Lia sapaan akrabnya.
Begitu pula dengan Jarwo, perajin tempe di Putat Jaya. Pada 3 bulan setelah lokalisasi ditutup, ia membuka usaha tempe. Sebelum membuka usaha tempe, dulu ia penjual kopi di lokalisasi Dolly. Kini, perekonomiannya membaik dan usahanya laris.
"Tiga bulan setelah penutupan buka usaha tempe. Pertama kali usaha sendiri, terus ada pelatihan dari pemkot, warga terdampak penutupan Dolly, ada banyak pelatihan. Aku usaha habis 5 kilogram, setelah itu ada program pelatihan mesin giling dikasih pemkot dan pendampingan dari mahasiswa, dan gerakan melukis harapan," kata Jarwo.
![]() |
Jarwo sendiri cukup terkenal di Dolly, sebab ia pernah ikut demo menolak penutupan dan menjadi humas PKL dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL). Bahkan ia memiliki kaus bersejarahnya dalam memperjuangkan Dolly-Jarak.
Kaus itu berwarna cokelat, warnanya sudah hampir pudar. Pada bagian depan bergambar karikatur semua elemen masyarakat yang hidup di Dolly dari mulai PKL, Pekerja Seks Komersial (PSK) hingga mucikari yang menolak lokalisasi Dolly-Jarak ditutup.
Sementara pada bagian belakang bertuliskan FPL. Menurut Jarwo, kaus tersebut merupakan seragam saat melakukan aksi penolakan penutupan lokalisasi Dolly 2012 hingga akhirnya benar-benar ditutup pada 2014.
"Setiap melakukan aksi selalu dipakai kausnya, semua pakai dari pedagang, PSK, muncikari, makelar dan warga juga pakai. Saya pakai terus kaus ini untuk menyurakan penolakan penutupan Dolly waktu itu," cerita dia.
![]() |
Jarwo juga menceritakan, kaus tersebut mengingatkannya pada perjuangan warga gang Dolly selama kurang lebih dua tahun. Sampai deklarasi penutupan gang Dolly benar-benar dilakukan.
"Kaus ini berkesan karena menemani semua warga Jarak-Dolly sampai perjuangan terakhir. Yang paling saya ingat dulu semua warga pakai kaus ini untuk untuk demo tanggal 18 Juni 2014 di Islamic Center, saat deklarasi penutupan Dolly dilakukan. Dulu waktu deklarasi, semua jalan dari Putat, Kupang hingga Banyu Urip diblokade dan banyak warga yang ikut aksi blokade pakai kaus ini," jelasnya.
Dia akan merasa baik-baik saja, ketika kaus bersejarahnya tersebut dibeli orang. Sebab, hidupnya saat ini sudah jauh lebih baik.
"Kalau ada yang beli saya gapapa, kita menata hidup baru, sekarang alhamdulillah jual tempe barokah. Dulu bersejarah dan sekarang meninggalkan masa lalu. Ternyata ditutup juga ada manfaatnya," pungkasnya.
(hil/dte)