Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPJS Kesehatan akan dijadikan syarat mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), hingga Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Lalu, apakah kebijakan ini telah diterapkan di Jawa Timur?
Dirlantas Polda Jatim Kombes Latif Usman menyebut aturan ini belum diberlakukan di Jatim. Hingga kini, pihaknya masih menunggu aturan dari Korlantas Mabes Polri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengurus SIM dan STNK menggunakan BPJS, kami masih tetap menunggu aturan Korlantas Polri," kata Latif saat dihubungi detikJatim di Surabaya, Rabu (23/2/2022).
Latif mengatakan Mabes Polri masih menyusun regulasi soal aturan ini. Namun, jika sudah ditetapkan menjadi aturan wajib, Latif menyebut pihaknya siap melaksanakan.
"Itu kan membuat regulasi baru lagi, dan persyaratan baru untuk mengurus SIM dan STNK. Kalau itu sudah menjadi aturan prosedurnya begitu akan kita laksanakan, namun kita masih menunggu," tambah Latif.
Terpisah, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Gitadi Tegas menilai kebijakan ini tidak bijak. Hal ini justru akan membenani masyarakat.
Gitadi mengatakan kebijakan ini memang sah dilakukan. Apa lagi, hal ini telah diumumkan Jokowi melalui Inpres nomor 1 tahun 2022 yang dikeluarkannya. Selain itu, Inpres ini juga memiliki tujuan baik dalam pengoptimalan JKN. Namun, kebijakan ini perlu melihat bagaimana kondisi masyarakat.
"Karena bagi warga yang belum memiliki kartu BPJS atau yang BPJSnya mati atau tidak aktif, ini berarti sebuah pembebanan baru. Bagi sebagian masyarakat, tentu saja ini sebuah masalah," kata Gitadi saat dihubungi detikJatim di Surabaya, Rabu (23/2/2022).
Tak hanya itu, Gitadi juga menilai kebijakan tidak nyambung. Dia khawatir adanya kebijakan ini justru berpengaruh pada pendapatan sektor lain.
"Menurut pandangan saya ini lebih mengarah ke pembebanan pada publik. Karena publik harus mengurus baru, yang menunggak harus membayar. Ini dipersyaratkan untuk membayar STNK, ada dimensi yang kurang nyambung, karena tujuannya untuk membayar sejenis pajak, bisa jadi sebagian orang terkendala karena harus mengurus BPJS dahulu," paparnya.
Gitadi menambahkan pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi dulu sebelum menerapkan kebijakan baru. Hal ini penting untuk mendapatkan pengertian masyarakat.
"Apakah ini justru tidak mendistorsi pendapatan sektor lain, misalnya dalam hal ini STNK. Lalu apa ini sudah dihitung atau belum. Sepertinya belum, karena menurut saya ada ketergesaan," tambahnya.
Melihat ketergesaan ini, Gitadi menilai ada agenda tersembunyi yang hendak dikejar Pemerintah. Dia menduga, penerapan kebijakan ini untuk mengejar dana BPJS yang masih nunggak.
"Ada hidden agenda yang dikejar, mohon maaf kalau salah, dugaan saya adalah untuk menggali iuran sebanyak-banyaknya karena BPJS masih kedodoran. Ini yang menurut saya perlu diclearkan dengan menampilkan evidencenya, nombok berapa, yang menunggak siapa saja. Ini yang dari perpektif saya, mungkin subjektivitas saya sebagai pengamat kebijakan publik," lanjut Gitadi.
Untuk itu, Gitadi menyarankan sebaiknya pemerintah jujur saja dengan rakyat soal kondisi real yang terjadi. Jangan sampai lagi-lagi masyarakat yang menjadi korbannya.
"Itu maksud saya, karena terkesan ada hal yang disembunyikan terkait kondisi keuangan dalam pembiayaan kesehatan masyarakat. Ini zamannya IT, sebaiknya jujur saya, declare saja supaya masyarakat juga paham dan jangan buru-buru," imbuhnya.
Apa lagi, kebijakan ini dikeluarkan saat pandemi COVID-19, di mana banyak masyarakat yang masih kesusahan dalam menyambung hidup.
"Menurut saya ini kebijakan yang tidak bijaksana. Karena saat ini kondisi masih pandemi dan sebagainya," sesalnya.
(hil/fat)