Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) mengaku tak setuju dengan usul Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. Usulan tersebut menyangkut Sidang Isbat yang menurutnya tak perlu dilakukan untuk menentukan Idul Fitri 1445 H atau lebaran 2024.
"Saya tidak sependapat, menurut saya itu sidang isbat sangat positif. Kita melihat sidang isbat itu bagian dari upaya pemerintah untuk mencari titik temu dan menyatukan segenap ormas Islam se-Indonesia agar bisa bersatu," kata Gus Fahrur kepada wartawan, Kamis (7/3/2024), dilansir detikNews.
Lebih lanjut Fahrur menjelaskan bahwa penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri di berbagai negara Islam dilakukan oleh pemerintah. Dia mengatakan hal itu menyebabkan tidak ada perbedaan penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri.
"Kalau ini kita sepakati bersama di Indonesia, alangkah baiknya sehingga semua umat Islam berhari raya dengan lebih kompak dan menyenangkan. Semua ormas Islam se-Indonesia bersatu tidak perlu bersusah payah menentukan hari raya, cukup mengikuti keputusan pemerintah," jelasnya.
"Kementerian Agama RI mempunyai banyak tenaga ahli dari kalangan akademisi dan ulama-ulama untuk melakukan penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri sesuai standar syariat Islam," lanjutnya.
Tanggapan Kementerian Agama
Senada dengan PBNU, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais-Binsyar) Ditjen Bimas Islam, Adib mengatakan sidang isbat ini penting dilakukan. Apalagi digunakan sebagai forum pengambilan keputusan bagi umat Islam untuk menentukan Awal Ramadan.
"Sidang isbat dibutuhkan sebagai forum bersama mengambil keputusan. Ini diperlukan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan acuan bagi umat Islam untuk mengawali puasa Ramadan dan berlebaran," ujar Adib dikutip detikNews dari website Kemenag, Jumat (8/3/2024).
Selain itu, menurut Adib, sidang isbat penting dilakukan karena ada banyak organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam di Indonesia yang juga memiliki metode dan standar masing-masing dalam penetapan awal bulan Hijriah. Tidak jarang pandangan satu dengan lainnya berbeda, seiring dengan adanya perbedaan mazhab serta metode yang digunakan.
Sehingga, sidang isbat menjadi forum, wadah, sekaligus mekanisme pengambilan keputusan. Apalagi, Indonesia bukan negara agama, bukan juga negara sekuler.
Adapun Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Fatwa itu salah satunya memutuskan bahwa penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah dilakukan berdasarkan metode rukyah dan hisab oleh Pemerintah RI cq. Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Sidang isbat sudah berlangsung sejak dekade 1950-an ada juga sebagian sumber menyebut tahun 1962.
Dalam prosesnya, sidang isbat menjadi forum musyawarah para ulama, pakar astronomi, ahli ilmu falak dari berbagai ormas Islam, termasuk instansi terkait dalam menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Sidang ini dihadiri juga Duta Besar Negara Sahabat, Ketua Komisi VIII DPR RI, Perwakilan Mahkamah Agung, Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Perwakilan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Perwakilan Badan Informasi Geospasial (BIG), Perwakilan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Perwakilan Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB), Perwakilan Planetarium Jakarta, Pakar Falak dari Ormas-ormas Islam, Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, dan Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam dan Pondok Pesantren.
"Hasil musyawarah dalam sidang isbat ditetapkan oleh Menteri Agama agar mendapatkan kekuatan hukum. Jadi bukan pemerintah yang menentukan jatuhnya awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Pemerintah hanya menetapkan hasil musyawarah para pihak yang terlibat dalam sidang isbat," jelas Adib.
Baca selengkapnya di halaman berikut.
(cln/ahr)