Terik matahari di langit Bandung mulai terasa menusuk saat siang menjelang, Minggu (9/11/2025). Panggung utama gelaran West Java Festival 2025 hari kedua kala itu diisi oleh penampil pertamanya.
Sejumlah musisi yang naik ke pentas tersebut mulai menyesuaikan posisi. Ada yang menunduk meraba tuts keyboard, memainkan gitar, sementara vokalisnya berdiri tegak di tengah. Begitu lagu "Takkan Berpaling Darimu" terdengar, suasana bergeming. Suara merdu sang vokalis yang berpadu harmonis dengan alunan seruling seolah membawa kesejukan di tengah cuaca yang panas.
Mereka adalah D'Poek, band asal Kota Cimahi yang kerap membawakan cover berbagai lagu hits dengan aransemen sendiri. Nama yang mereka pilih dari kata "poek", yang berarti "gelap" dalam Bahasa Sunda. Nama tersebut bukan dipilih tanpa makna, melainkan menjadi cerminan kondisi mayoritas personelnya yang merupakan penyandang difabel netra.
Kekompakan D' Poek tidak lahir dari panggung besar. Mereka meniti perjalanan musik dari tempat yang jauh dari sorotan, yakni Pusat Pelayanan Sosial Griya Harapan Difabel (PPSGHD) milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. Di tahun 2022, pertemuan para personilnya dimulai dari kelas keterampilan bermusik yang digelar di yayasan tersebut secara berkala.
Baca juga: Taman Musik Bandung yang Tak Semerdu Dulu |
Mereka datang dari berbagai daerah, mulai dari Tasikmalaya, Karawang, Cileunyi, Garut, hingga Sumedang. Awalnya, membuat band tak pernah terbesit di kepala mereka. Namun, keberadaan kelas kesenian di tempat tersebut membuka jalan lain.
"Jadi kalau untuk tunanetra itu utamanya belajar pijat. Tapi karena di situ ada kelas kesenian dan ada teman-teman lainnya yang juga hobi musik, akhirnya kita masuk kelas itu dan terbentuklah band ini," ungkap Dede Handi, salah satu personil D'Poek pada detikJabar belum lama ini.
Sejak saat itu, musik jadi ruang pertemuan mereka. Jumlah personil pun mengalami penambahan. Dari awalnya hanya enam orang, kini bertambah menjadi sembilan. Dede termasuk satu dari sedikit personil yang memulai pelajaran bermusik dari nol di PPSGHD. Mayoritas mereka telah lebih dulu menguasai alat musik yang diawali dari hobi.
Meski domisili berbeda-beda, mereka rutin dipanggil kembali ke PPSGHD untuk berlatih bila ada panggilan manggung. Dalam waktu yang singkat, mereka harus berlatih menyesuaikan lagu, membagi peran, dan memantapkan harmoni dengan apik.
"Biasanya latihan itu tiga sampai empat hari. Kalau ada event seperti ini kita dipanggil ke Dinsos (Dinas Sosial Jawa Barat) untuk berlatih. Kita datang dari daerah masing-masing ke sana (PPSGHD) untuk latihan bawain lagu-lagunya," terangnya.
Simak Video "Video: Mensos Gus Ipul Ungkap 17% Penyandang Tunanetra Tidak Sekolah"
(mso/mso)