Waswas Menyongsong Bebas dari Lapas, Sepenggal Kisah Napi di Bogor

Andry Haryanto - detikJabar
Jumat, 26 Sep 2025 12:00 WIB
Lapas Cibinong, Bogor (Foto: Istimewa/dok Lapas Cibinong)
Bogor -

Seperti Andy Dufresne dalam film The Shawshank Redemption yang diam-diam menghitung setiap hari, sementara suara bijak Morgan Freeman sebagai Red mengisi cerita tentang harapan dan kecemasan di balik tembok penjara, begitulah perasaan sebagian narapidana menjelang bebas. Setiap malam terasa panjang, setiap suara kunci besi terdengar bagai isyarat kebebasan yang kian dekat, namun juga penuh kegamangan, bagaimana dunia di luar sana akan menyambut?

Bagi Alfiansyach (25), narapidana kasus judi online yang minta namanya disamarkan, penantian itu justru lebih menegangkan ketimbang awal masa hukumannya. Ia diputus bersalah dengan vonis 1 tahun 10 bulan penjara, ditambah 3 bulan kurungan subsidair.

"Kalau dulu pas baru masuk, saya hanya memikirkan bagaimana bertahan. Sekarang menjelang bebas, pikiran saya ke mana-mana. Saya takut tidak diterima keluarga, takut tetangga memandang sinis," katanya lirih saat berbincang dengan detikJabar, Kamis (25/9/2025).

Rasa waswas itu wajar. Kebebasan memang bukan sekadar keluar dari pintu penjara, melainkan memasuki kehidupan yang sudah berubah. Dunia di luar sudah bergerak cepat. Pekerjaan, teknologi, bahkan orang-orang terdekat mungkin tak lagi sama.

Di balik tembok besi, Alfiansyach mengisahkan awal mula ia terjerumus ke dunia judi online. Selepas SMA di Batam, ia sempat menjadi pemain e-sport Mobile Legends. Namun ketika timnya gagal melanjutkan kontrak, hidupnya berubah drastis. Dari tawaran kerja biasa, ia justru diarahkan menjadi telemarketing situs judi online.

"Awalnya cuma blasting nomor, isi kata-kata. Lama-lama naik jabatan sampai jadi leader, pegang tiga situs besar di Bali. Gajinya bisa 24 juta sebulan," kenangnya.

Zona nyaman itu runtuh seketika setelah aparat menangkapnya. Ia kehilangan tunangan, tabungan puluhan juta raib, dan masa depan serasa hancur.

"Pas pertama kali ditangkap, ancur semuanya. Tunangan pulang kampung, tabungan 17 sampai 20 juta kebawa. Kayak enggak ada pegangan lagi," kisah Alfi.

Meski begitu, di dalam lapas Alfiansyach mencoba bangkit.

Spiritual Jadi Penopang Harapan Baru

Cerita lain datang dari Sadam (44), narapidana kasus narkotika yang dijatuhi 17 tahun penjara. Setelah melewati lebih dari separuh masa hukumannya, ia merasakan rasa waswas setiap kali bayangan bebas mulai dekat.

"Aku dua-duanya (bebas dan cemas). Ngarep banget pengen cepat pulang, tapi takut juga ngadepin dunia luar. Delapan tahun bukan waktu sebentar. Dunia di luar udah banyak berubah," kata Sadam kepada detikJabar.

Sadam menafsirkan masa hukumannya sebagai ruang kontemplasi. Ia melihat setiap hari di balik jeruji sebagai teguran atas kesalahan-kesalahan kecil di masa lalu.

"Kalau dulu suka buang makanan, di sini jadi tahu rasanya menghargai setiap butir nasi. Kalau dulu suka jahilin orang, di sini dapat balasannya," ujarnya.

Lapas Cibinong, Bogor Foto: Istimewa/dok Lapas Cibinong

Kehilangan tunangan yang dulu berjanji setia pun ia maknai sebagai tanda, bahwa bukan dia orang yang terbaik. Dari rasa kehilangan itu Sadam belajar bersyukur, menemukan pegangan baru lewat doa dan gereja yang kini ia datangi hampir setiap hari.

"Dulu setahun sekali, itu juga dipaksa," Sadam berkelakar.

Namun kecemasan menghadapi bebas tetap menghantui. Sadam khawatir tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, takut ditolak masyarakat, bahkan waswas tawaran dari jaringan lama kembali datang.

"Kalau kita enggak kuat mental, bisa balik lagi. Makanya aku yakin harus punya keyakinan dulu. Kalau mau hidup baru, jangan lihat ke belakang," katanya tegas.

Lebih jauh, ia menyadari stigma eks-narapidana bisa terasa menyesakkan. "Tolong jangan lihat masa lalu kita. Mungkin menurut mereka kita sampah, sudah bikin malu keluarga. Tapi kalau kita terus dipandang begitu, kita makin tenggelam. Padahal kami juga butuh support untuk mulai hidup baru," ujar Sadam.

Ia kini menaruh harap pada keterampilan hidroponik yang dipelajarinya di lapas. Baginya aktivitas tersebut menjadi sebuah pilihan hidup yang sederhana, tapi lahir dari kesabaran, bukan jalan pintas saat menjadi bandar.

Bagi Sadam, kebebasan nanti adalah pertaruhan apakah ia akan dilihat sebagai sosok lama yang pernah terjerumus, atau sosok baru yang berjuang menghidupi dirinya dengan cara berbeda.

Pekerjaan Rumah Bernama Stigma

Kepala seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik (Binadik) Lapas Cibinong, Nu'man Fauzi, mengakui stigma masyarakat masih menjadi tantangan besar bagi warga binaan yang akan kembali kelak.

"Tujuan pemasyarakatan itu memulihkan hidup, baik hubungan dengan keluarga maupun dengan masyarakat. Karena itu pembinaan harus terbuka dan kemitraan harus diperkuat. Kami ingin masyarakat melihat perubahan mereka, bukan masa lalunya," ujar Nu'man kepada detikjabar.

Ia menegaskan, upaya itu dimulai dari pembinaan spiritual hingga pembekalan keterampilan. Dari mendekatkan diri pada Tuhan untuk memperkuat mental, hingga pelatihan kerja yang bisa jadi bekal nyata.

"Kami tetap konsisten menyampaikan bahwa mereka aktif, produktif, dan punya bekal. Tapi agar mereka diterima, masyarakat juga harus ikut bergandengan tangan. Jangan lihat masa lalu mereka, tapi dukung perubahan yang mereka jalani," kata Nu'man.

Nu'man menekankan, pembinaan di lapas tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada keterlibatan pihak ketiga, mulai dari pemerintah daerah, kementerian, dunia usaha, hingga komunitas. Salah satu upaya nyata yang kini dilakukan Lapas Cibinong adalah menjalin kemitraan dengan pelaku UMKM. Produk karya warga binaan mulai dari roti, makanan olahan, hingga kerajinan tangan, perlahan mulai ditawarkan untuk kegiatan rapat instansi maupun pameran.

"Beberapa kali kami sudah komunikasi dengan dinas UMKM. Misalnya untuk roti, ada penjajakan supaya kalau ada rapat-rapat bisa pesan ke Lapas Cibinong. Itu langkah awal, supaya karya warga binaan bisa masuk ke masyarakat," jelasnya.

Meski begitu, ia mengakui masih ada kendala harga dan skala produksi. Produk warga binaan yang handmade seringkali lebih mahal dibanding produk pabrikan. Karena itu, Nu'man berharap ada dukungan lebih jauh dari jejaring UMKM lokal, dinas terkait, maupun komunitas wirausaha.

"Kalau hanya kami yang bicara, sering dianggap pencitraan. Tapi kalau masyarakat, pelaku usaha ikut bergandengan tangan, trust itu akan tumbuh. Warga binaan bisa dilihat dari karyanya, bukan masa lalunya," Nu'man menandaskan.

Dihantui Godaan Masa Lalu

Menjelang bebas dan tuntas masa hukuman, Alfiansyach (25) dan Sadam (44) seharusnya merasa lega. Namun kenyataannya, yang muncul justru rasa cemas. Bukan hanya soal stigma masyarakat atau sulitnya mencari pekerjaan, melainkan bayang-bayang masa lalu yang datang dalam bentuk iming-iming.

Alfi, warga binaan Lapas Cibinong dengan vonis 1 tahun 10 bulan plus 3 bulan subsidair dalam kasus judi online, mengaku tawaran untuk kembali bekerja di dunia lama sudah ia dengar meski masih di dalam lapas.

"Ada yang nawarin balik lagi, gajinya lebih gede dari dulu. Bahkan disediain kerjaan di luar negeri, bisa pulang tiap bulan. Itu bikin goyah juga," kisah Alfi memulai perbincangan dengan detikjabar, Kamis (25/9/2025).

Godaan itu terasa nyata karena ia tahu betul cara kerja bisnis tersebut. Dari telemarketing sederhana, ia pernah naik hingga menjadi leader tiga situs besar di Bali dengan penghasilan Rp24 juta sebulan. Kini, tawaran serupa datang lagi dengan iming-iming pekerjaan mudah, bayaran tinggi, fasilitas menggiurkan.

"Kalau nggak kuat mental, bisa hanyut lagi," ujarnya.

Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa mencari pekerjaan resmi tidaklah mudah, terutama karena tersandung syarat administrasi.

"Saya kan mau kerja, istilahnya kerja bener lah gitu. Aduh gimana ya, soalnya SKCK juga udah susah katanya kalau kamu udah di sini tuh. Paling alternatifnya jadi pengusaha," kata Alfiansyach.

Namun, di balik kecemasan dan keraguan yang menghantui pikirannya, Alfiansyach menyimpan sebuah harapan yang lebih besar dari sekadar mencari nafkah. Ia ingin pengalamannya di dunia hitam judi online tidak berakhir sia-sia, melainkan dijadikan bekal untuk membantu aparat dalam memerangi praktik tersebut. Ia merasa sebagai orang dalam yang tahu jalannya sistem, pola kerja, hingga cara jaringan beroperasi.

"Aku pernah di dunia itu, tahu sistemnya, tahu caranya jalan. Kalau mau perangin judol, aku bisa bantu," ujarnya penuh keyakinan.

Menurut Alfi, yang ditangkap selama ini kebanyakan hanyalah karyawan, sementara bos besar tetap bebas. "Rata-rata yang dijeblosin itu karyawan kayak saya. Mungkin 98 persen. Dalang utamanya entah di luar negeri, entah susah dilacak. Kalau kayak gini, judol nggak bakal ada habisnya," katanya.

Sadam (44), narapidana kasus narkotika di Lapas Cibinong, mengalami dilema serupa. Delapan tahun sudah ia jalani dari vonis 17 tahun. Hidup di balik jeruji membuatnya lebih religius dan menemukan keterampilan baru seperti hidroponik dan servis AC, tetapi itu tidak menutup rasa takut menghadapi godaan lama.

"Kalau dulu mikir instan, ya narkoba lebih gede hasilnya. Tawaran itu masih ada, apalagi dari relasi lama. Mereka bilang, udah sama gue aja. Gimana nggak goyah? Tapi kalau ikut lagi, artinya saya siap hancur lagi," ujarnya.

Bagi Sadam, penjara menjadi ruang kontemplasi. Ia melihat hari-harinya sebagai teguran Tuhan atas masa lalu. Dari yang dulu jarang ke gereja, kini ia aktif setiap hari. Namun semakin dekat remisi dan sidang pembebasan bersyarat, semakin keras juga bayangan bebas menghantuinya.

"Ngarep banget bisa pulang, tapi takut juga ngadepin dunia luar. Dunia udah banyak berubah, delapan tahun itu bukan sebentar," ucapnya.



Simak Video "Video: Momen 2 Napi Terpidana Mati Kasus Narkotika Dipulangkan ke Inggris"

(dir/dir)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork