Opini

Makassar dan Urbanisme Postmodernitas

Sawedi Muhammad - detikSulsel
Minggu, 16 Nov 2025 13:02 WIB
Foto: Sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas), Sawedi Muhammad. (dok. Istimewa)
Makassar -

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi.

"It is interesting to see which cities of the world are on the list of liveable cities. They're always the cities that are sweet to their people." - Jan Gehl

Di pagi yang dingin pada Minggu, 9 November 2025, Makassar memperingati hari jadinya yang ke-418. Di usianya yang panjang, warga Makassar kembali melakukan ritual berulang yang menjemukan; perlombaan olahraga dan seni, pembersihan selokan, jalan santai, pemberian penghargaan dan upacara bendera. Rutinitas ini mentradisi sekian lama tanpa reflektif kritis dalam mencermati perkembangan kota yang beberapa abad silam telah menjadi hub transportasi maritim internasional dan perdagangan lintas negara.


Makassar yang selama beberapa tahun belakangan dilabeli sebagai kota dunia, waterfront city, resilient city, kota ramah anak dan smart city, telah menorehkan jejak digital yang suram. Tagline ambisius yang telah menguras dana publik yang sangat besar, tidak merefleksikan kualitas sebagaimana yang diimajinasikan. Makassar tidak mengalami transformasi yang dijanjikan. Ia tetaplah kota yang berkelindan dengan masalah klasik yang memprihatinkan.

Makassar kewalahan menangani sampah, kebanjiran, kemacetan, polusi udara, kekurangan air bersih, perkelahian antar kelompok, geng motor, konflik agraria dan pemukiman kumuh. Masalah yang sangat kompleks ini adalah warisan sosial yang harus diselesaikan oleh Appi-Aliyah sebagai pemimpin baru di kota Makassar. Tantangan yang dihadapi Makassar hari ini sejalan dari apa yang disebut oleh Saskia Sassen dalam bukunya The Global City (1991) sebagai urban complexities.

Memahami Urbanisme

Urbanisme dalam sosiologi perkotaan menjadi salah satu tema yang selalu menarik didiskusikan. Urbanisme diartikan sebagai kajian yang mengurai bagaimana warga perkotaan berinteraksi satu sama lain serta bagaimana mereka memaknai relasinya terhadap lingkungan fisik dan infrastruktur perkotaan yang selalu bertransformasi mereproduksi ruang tanpa henti. Urbanisme memberi penekanan terhadap dinamika perkotaan yang terus tumbuh sebagai konsekuensi dari tren glokalisasi dan gentrifikasi yang tidak dapat dihindari.

Kajian ini membutuhkan analisis yang saling terkait dari disiplin ilmu geografi, sosiologi, perencanaan dan arsitektur. Ia juga diperkaya secara historis oleh berbagai paradigma dan ideologi seperti modernisme, fungsionalisme, rasionalisme dan humanisme. Di esai singkat ini, penulis menawarkan wacana bagaimana memahami urbanisme dalam perspektif postmodernisme (Gagica, 2023). Ia mengusung gagasan yang menolak kebenaran tunggal dalam membangun kota dan mengecam dominannya peran perencana kota yang kaku, egois, monoton dan membosankan.

Dalam pandangan Gagica, membangun dan merancang sebuah kota wajib memperhatikan keberagaman sosial, historis dan kultural penghuninya. Kompleksitas yang dihadapi, ambiguitas dan berbagai kontradiksi pada nilai-nilai yang dianut serta pentingnya membuka ruang partisipasi bagi warga perkotaan adalah hal krusial yang harus diperhatikan. Gagica mengingatkan perencana kota wajib menekankan pentingnya aspek dan nilai-nilai pluralisme, kontektualisme, hibriditas dan menyenangkan (playfulness).

Perencana kota dalam perspektif postmoderen cenderung mengabaikan prinsip-prinsip lama yang mendewakan keseragaman fungsional (one-size-fits-all), keteraturan, efisiensi dan estetika minimalis. Ia menawarkan desain urban yang eklektik, unik, beragam, partisipatif dan sensitif terhadap budaya lokal. Desain kota yang lebih fresh membuka cakrawala pengetahuan dalam memahami dinamika perkotaan secara utuh dan menambah semangat baru dalam menata kota yang lebih manusiawi, adaptif dan memahami kebutuhan warganya.

Kota Layak Huni

Melihat kondisi objektif infrastruktur di kota Makassar, sangat wajar kalau kota ini tidak pernah masuk nominasi kota layak huni (livable city) yang setiap tahunnya dirilis oleh Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia sejak tahun 2009. Diantara 28 indikator yang dinilai, Makassar sangat jauh tertinggal dari kota Solo, Cirebon, Malang, Jogya, Semarang, Kediri dan Mataram. Sudah menjadi pengetahuan umum, kondisi Makassar sangat memprihatinkan dari segi ketersediaan fasilitas umum dan sosial, ruang publik, keamanan, sanitasi dan keindahan lingkungan, pengelolaan sampah, pendidikan, dan transportasi.

Sungguh berat beban Wali Kota saat ini untuk merekonstruksi kota yang penataannya sangat amburadul menuju kota yang layak huni. Mengingat masa jabatan yang hanya 5 tahun, rasanya tidak mungkin menyulap Makassar memenuhi kriteria kota layak huni dalam waktu yang singkat. Merekonstruksi kota dengan berbagai permasalahan yang semakin kompleks dibutuhkan strategi cerdas, terencana, realistis, terukur tetapi juga menghibur.

Penulis menyarankan pemimpin kota Makassar mengadopsi desain kota bahagia sebagaimana yang ditulis oleh Charles Montgomery dalam bukunya Happy City: Transforming Our Lives Through Urban Design (2013). Montgomery menegaskan urgensi desain perkotaan yang memprioritaskan kebahagiaan dan kesejahteraan penghuninya. Kota-kota hari ini menurutnya gagal memperkuat relasi sosial--yang menjadi kunci kebahagiaan--tetapi dapat didesain kembali melalui perencanaan yang terukur. Berdasarkan riset dan pengamatannya di berbagai kota di seluruh dunia, Montgomery menemukan banyak kota yang mengalami disfungsi; warganya terisolasi, stres, miskin dan tidak bahagia karena desain kotanya yang amburadul.

Salah satu yang disoroti Montgomery adalah desain kota yang memanjakan kendaraan bermotor. Kota yang memprioritaskan kendaraan bermotor sangat berkorelasi dengan menurunnya tingkat kebahagiaan warganya. Para pengendara mengalami isolasi - menempuh waktu panjang ke tempat kerja - berbanding terbalik apabila mereka menggunakan transportasi publik, naik sepeda atau berjalan kaki. Selain itu, kurangnya apa yang disebut Montgomery sebagai "emotional infrastructures" seperti taman kota, ruang terbuka hijau, galeri seni, museum, perpustakaan dan tempat rehat, menambah kelam suasana psikis seluruh warga kota.

Belajar dari Enrique Penalosa

Enrique Penalosa adalah mantan Wali Kota Bogota yang menjabat dua periode. Periode pertama 2016-2019 dan periode kedua 1998-2001. Penalosa terkenal di seluruh dunia bukan sebagai politisi tetapi seorang pemikir perkotaan yang prestasinya telah mengilhami berbagai kota besar di dunia dalam mendesain kota yang memanusiakan warganya.

Penalosa percaya bahwa terdapat kaitan yang tak terpisahkan antara kemiskinan, kebahagiaan dan desain perkotaan. Pada masa jabatan periode pertama, Penalosa melihat hanya sekitar 10% warga Bogota yang memiliki kendaraan (mobil pribadi). Ia kemudian menyimpulkan bahwa desain kota yang memanjakan kehadiran mobil pribadi, tidak hanya merupakan pemborosan tetapi juga simbol ketidakadilan. Dengan membangun jalur khusus bagi sepeda, Penalosa berhasil mendistribusikan ruang secara lebih adil dan proporsional. Selama periode pertama, Penalosa telah membangun jalur sepeda (cicloruta) sepanjang 300 km menghubungkan pemukiman miskin di pinggiran dengan pusat-pusat bisnis di jantung kota. Di akhir periode keduanya, Penalosa berhasil membangun jalur sepeda sepanjang 450 km keliling kota Bogota.

Capaian lain Penalosa yang tidak kalah spektakulernya adalah upaya mengurangi kemacetan melalui program BRT (Bus Rail transit) yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. BRT Transmilenio tidak hanya efektif mengangkut 2,4 juta penumpang setiap harinya, tetapi juga berhasil mendesain transportasi kota yang inklusif, terintegrasi, aman dan nyaman serta terbukti mampu mengurangi kemacetan secara signifikan. Prestasi lainnya adalah membangun dan merenovasi lebih dari 1.000 taman dengan prioritas di pemukiman warga miskin kota, merekonstruksi jalan dengan desain trotoar yang bersahabat bagi pejalan kaki. Menurut Penalosa, kota yang maju bukan karena penduduk miskin memiliki kendaraan pribadi, tetapi ketika orang kaya menggunakan transportasi publik.

Bisakah Walikota Makassar belajar dari best practices yang telah dilakukan oleh Penalosa di Bogota? Jawabannya tentu saja bisa. Pertama adalah mengetahui motivasi dibalik prestasi mendunia dari seorang Wali Kota, yaitu kekuatan dari sebuah visi. Penalosa sangat lantang mengemukakan visinya tentang kota yang berkeadilan dan bermartabat berdasarkan filosofi kebersamaan (equality).

Penalosa ingin menunjukkan bahwa warga miskin yang hanya mampu membeli sepeda seharga $30 memiliki hak yang sama menggunakan jalan dengan mereka yang mengendarai mobil pribadi seharga $30.000. Penalosa ingin membuktikan bahwa BRT adalah ruang yang adil bagi yang kaya dan yang miskin, membaur menjadi satu menikmati transportasi kota yang nyaman dan terjangkau tanpa diskriminasi. Penalosa ingin menunjukkan bahwa pejalan kaki memiliki hak untuk menikmati trotoar yang nyaman sama seperti pemilik kendaraan menggunakan jalan raya.

Kedua, Penalosa didukung oleh anak-anak muda yang didedikasikan untuk melakukan inovasi dan terobsesi dengan prinsip dan semangat kebersamaan. Ia membangun tim yang solid, menyatukan persepsi, menumbuhkan semangat kebersamaan dan rasa memiliki untuk mencapai visi yang dicita-citakan. Penalosa mewajibkan setiap perangkat daerah memahami dengan benar visi dan misinya, menetapkan indeks kinerja utama dan memonitor setiap kemajuan dan kendala yang dihadapi.

Penalosa percaya bahwa transformasi publik hanya bisa dicapai ketika birokrasi pemerintahan memiliki spirit inovasi dan keyakinan yang kuat, bekerja secara mandiri dan menghindari mikro-manajemen. Karenanya Penalosa dikenal dunia dengan kepemimpinannya yang kreatif dan inovatif. Penalosa menegaskan bahwa pemerintahan adalah tempat yang mengasyikkan dan ruang bagi tumbuhnya kreativitias dan inovasi, membuat hidup lebih baik dan tidak hanya larut dalam rutinitas birokrasi yang membosankan.

Ketiga, penulis menyarankan Wali Kota dan seluruh perangkatnya rutin membaca literatur tentang perkotaan. Sebagai episentrum dari berbagai aktivitas yang tumbuh dan dinamis, kota terus bertransformasi dan dapat berubah wujud seperti monster yang tidak jelas formasinya. Pemahaman dan pengetahuan tentang anatomi kota menjadi keniscayaan. Buku Penalosa "Equality and the City: Urban Innovation for All" (2024) disarankan untuk dibaca dan dibedah secara mendalam. Ia menawarkan pengetahuan bagaimana merevitalisasi sebuah kota kumuh, sarang narkoba dan pusat kriminalitas global menjadi kota bahagia yang berkeadilan bagi warganya.

Penulis percaya Appi-Aliyah dengan jejak rekam yang panjang baik di dunia politik dan dunia usaha mampu mentransformasi kota Makassar menjadi kota yang layak huni, menyenangkan dan membahagiakan seluruh warganya. Penulis yakin, Wali Kota Makassar yang memiliki latar belakang yang mengesankan; besar di dunia usaha dan dunia entertainment akan mengubah wajah Makassar dengan style-nya yang unik. Appi yang penulis kenal adalah sosok jenaka, nyeleneh dan berpikir di luar mainstream diharapkan mampu meredesain kota Makassar di luar pakem urbanist yang membosankan dan monoton.

Oleh:

Sawedi Muhammad
(Sosiolog Universitas Hasanuddin)



Simak Video "Video: Suara-suara Lega Warga Dengar PPN 12% Cuma Sasar Barang Mewah"

(sar/sar)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork