Alih-alih menanggapi satire 'Air Mata Buaya' Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon, politisi PDIP justru menyatakan dirinya perlu belajar menulis puisi. Fadli kemudian mengaku siap mengajari politisi PDIP menulis puisi.

Puisi satire karya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membuat PDIP meminta kejelasan soal siapa yang dimaksud sebagai penjual aset negara di puisi itu. Penulis puisi bertajuk 'Air Mata Buaya' itu menjawab.

Kebun binatang adalah destinasi liburan keluarga yang simpel, tapi tak pernah habis gaya. Inilah tempat paling sempurna dimana anak-anak belajar tentang hewan dan orangtua juga tetap bisa menikmati suasana libur serunya.

Puisi sarat sindiran dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menambah daftar rentetan sindiran ke PDIP yang telah mencapreskan Joko Widodo. Merespon satire itu, PDIP inginkan kejelasan soal untuk siapa sindiran politis itu ditujukan.

Puisi 'Air Mata Buaya' mengisahkan sosok pemimpin yang bicara kejujuran namun berdusta, juga soal pemimpin yang bicara nasionalisme namun menjual aset negara.

Merespon puisi satire Waketum Gerindra Fadli Zon, PDIP justru bertanya balik. Di puisi itu, Fadli menyindir soal penjualan aset negara.

Usai capres Partai Gerindra Prabowo Subianto bersajak menyindir PDIP yang telah mencapreskan Joko Widodo, kini giliran Waketum Gerindra Fadli Zon yang berpuisi satire. Namun PDIP masih santai menanggapi.

Partai Gerindra 'mendadak puitis' setelah Gubernur DKI Jokowi ditetapkan sebagai capres PDIP. Kini Gerindra kerap melempar sindiran-sindiran tajam yang dikemas dalam untaian kata-kata puitis untuk PDIP.

Politisi senior PDIP Hendrawan Supratikno menilai Waketum Partai Gerindra Fadli Zon suka mendramatisasi masalah. Salah satu buktinya adalah dengan puisi yang dilempar Fadli berjudul 'Air Mata Buaya' tentang pemimpin yang bicara kejujuran namun berdusta.

Waketum Gerindra Fadli Zon melempar puisi berjudul 'Air Mata Buaya' ke publik. Puisi itu kental dengan isyarat sindiran ke lawan politik. PDIP, yang akhir-akhir menjadi sasaran tembak Gerindra, menanggapi dingin puisi itu.