Pengamat sepakbola M. Kusnaeni berharap Komite Normalisasi yang dipimpin Agum Gumelar tidak menjadi "operator" FIFA. Penyelesaian PSSI semestinya dilakukan oleh Indonesia saja.

Kekisruhan yang terjadi pada Kongres PSSI kemarin dipandang memalukan dan menjadi contoh tak bagus untuk generasi muda. Agum Gumelar dinilai tidak taktis, kelompok 78 bermain tidak cantik.

Kongres PSSI untuk memilih pemimpin baru berakhir ricuh Jumat (20/5/2011) malam. Pemerintah belum terlambat untuk menyelamatkan kongres tersebut demi kedaulatan bangsa.

Menkokesra Agung Laksono sangat menyayangkan kongres PSSI yang digelar kemarin menemui jalan buntu (deadlock). Ia juga berharap Agum Gumelar membawa misi Komite Normalisasi dengan baik.

Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng menyesalkan terjadinya deadlock sehingga Kongres PSSI dihentikan tadi malam. Ia mengatakan, pemerintah masih mencari solusi yang lain.

Ditutupnya Kongres PSSI tanpa membuahkan hasil membuat Indonesia dikabarkan terancam sanksi dari FIFA. Tapi karena penutupan kongres dilakukan Komite Normalisasi, yang merupakan perpanjangan tangan FIFA, sanksi tak selayaknya jatuh.

Usai berakhir tanpa ada hasil riil, kecil kemungkinan Kongres PSSI akan dibuka lagi. Ketua Sidang Agum Gumelar bahkan mengaku mengaku tinggal menanti keputusan FIFA saja.

Keputusan Ketua Sidang Agum Gumelar menutup Kongres PSSI sebelum melahirkan hasil nyata menuai kritik. Agum, yang juga ketua KN, dinilai terlalu cepat menyerah.

Sebelum akhirnya Kongres PSSI ditutup tanpa hasil, sidang diwarnai dengan hujan interupsi dari Kelompok 78 terhadap Ketua Sidang Agum Gumelar. Mereka dinilai memang menginginkan agar Agum tidak memimpin sidang.

Meski Kongres PSSI sudah dinyatakan ditutup oleh Ketua Komite Normalisasi, Agum Gumelar, Kelompok 78 (K-78)masih tetap bertahan di ruang kongres. Mereka masih keukeuh menunggu kemungkinan melanjutkan kongres.