Konflik antar komunitas masyarakat kembali pecah setelah sepuluh tahun terakhir tidak terjadi. Agar kasus yang ada tidak terlanjur berkepanjangan dan meluas, jajaran TNI dan Polri harus bertindak semakin pro aktif.

Premanisme merajalela.  Berbagai peristiwa itu menebarkan rasa resah. Kita jadi ingat peristiwa kelam ‘penembak misterius’ atau Petrus. Pola menumpas kejahatan dengan cara jahat. Adakah itu perlu?

Maraknya aksi kekerasan oleh kelompok masyarakat atau premanisme dinilai berakar dari masalah kemiskinan dan kebodohan yang tak kunjung diselesaikan. Oleh karenanya, pemberantasan premanisme adalah tugas semua pihak, tidak hanya Polri semata.

Beringasnya massa bersenjata dalam bentrokan di Jl Ampera, Jakarta, Rabu lalu memunculkan dugaan adanya oknum jenderal yang jadi beking. Namun demikian, Polri belum menemukan adanya keterlibatan jenderal dalam bentrok yang menewaskan 3 orang itu.

Sejumlah organisasi masyarakat, para tokoh agama, serta partai politik berkumpul di Balaikota DKI Jakarta. Pertemuan yang juga dihadiri oleh jajaran Muspida DKI ini dilakukan menyusul mulai maraknya gangguan keamanan di Ibukota.

Maraknya aksi premanisme disertai penggunaan senjata membuat resah masyarakat. Polisi mengakui masalah premanisme tidak cukup dengan upaya penindakan.

Jakarta terancam bentrok ala premanisme. Pemerintah pun dituntut untuk segera menuntaskannya. Salah satunya dengan pemenuhan kebutuhan lapangan pekerjaan.

Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menyayangkan bentrokan dua kelompok pemuda di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) di Jalan Ampera, Rabu 29 September 2010. Pemerintah harus keras menghadapi kelompok-kelompok preman seperti itu.

Pemuda yang terlibat bentrokan di Jl Ampera Raya, Jaksel, dianggap memiliki kemampuan bela diri. Pemuda yang jago bela diri sebaiknya menyalurkan ke kegiatan yang tidak melawan hukum.

Premanisme tidak bisa hilang karena itu penyakit sosial.Tapi polisi bisa meredamnya dengan lebih memperbaiki diri sendiri dengan menghilangkan budaya 'setoran'.