Ratusan warga Yogya dari berbagai elemen menggelar demo menolak pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY. Mereka menuntut Sultan HB X dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Menyikapi statemen Presiden SBY soal monarki, warga Yogyakarta mendesak agar dilaksanakan referendum. Apa tanggapan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) menyikapi desakan referendum ini?

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan dukungannya bila Sri Sultan dan Paku Alam ditetapkan menjadi Gubernur DIY secara otomatis. Namun Raja dan Patih Yogyakarta Hadiningrat diminta tidak terlibat politik.

Warga Yogyakarta berwacana mengenai referendum untuk menentukan gubernurnya ditentukan lewat pemilihan atau penetapan. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan bahwa referendum tak dikenal dalam UU.

Pada 2009, Mendagri Mardiyanto dan Panja Komisi II DPR telah membahas RUUK DIY. Pada Agustus 2009, 9 fraksi di Panja itu telah menyetujui prosesi kepemimpinan di Yogyakarta (gubernur) dilakukan dengan sistem penetapan, hanya PD yang belum menentukan sikap.

RUUK DIY sudah ada sejak 2003 lalu, namun hingga kini masih saja dibahas di internal pemerintah. DPR meminta agar pemerintah ngebut bekerja agar bisa segera diserahkan ke DPR.

Pernyataan Presiden SBY soal sistem monarki yang terjadi di Yogyakarta dikritik. LSM di Yogyakarta pun meminta SBY memikirkan hal yang lebih penting dari sekadar mencampuri urusan Yogyakarta.

Rakyat Yogyakarta telah mengetahui draf RUU Keistimewaan DIY yang akan mendudukan HB X dan Adipati Paku Alam menjadi Parardhya. Terkait hal tersebut rakyat Yogya pun menyerahkan sepenuhnya kepada Sultan.

Meski sudah 8 tahun sejak diusulkan, RUU Keistimewaan DIY belum juga disahkan. Bila tidak segera disahkan, maka warga Yogya akan merasa didiskriminasikan oleh pemerintah.

Ada pihak yang menganggap seruan referendum di Yogyakarta merupakan aksi makar. Anggapan ini tidak tepat, karena referendum hanya terbatas dalam konteks pengisian jabatan Gubernur DIY.